Hujan turun. Lantas aku menutup mata. Mendengarkan tiap syair dari air yang terjun ke bumi. Tentang angin yang bertabrakan, antara air dan daun yang saling berpelukan. Tanah basah. Aku mendengarkan kisah mereka, tentang rindu yang tertahan. Membumbung ke atas lantas terikat. Sampai, mereka melepaskan apa yang telah lama disimpan.
Setiap orang mulai berlari. Meninggalkan basah yang mulai menyapu. Mengangkat tangan menutupi kepala, melangit langkah mencari teduh. Aku mendengarkan kisah mereka, tentang jiwa yang tak ingin terusik. Terganggu roman lain yang mencoba mencari tempat. Satu bait dalam episode hidup. Satu detik dari berjam-jam yang sia.
Guntur pun hadir. Pekik di langit yang telah lama basah. Kilat-kilat yang hadir di awal, laksana ramalan bahwa gelegar gaduh akan tiba. Aku mendengarkan kisah mereka, tentang suara-suara yang lantang, namun senyap dalam kebisuan. Seperti mereka yang tuli, mendengarkan suara tanpa nada, melihat bibir yang bergerak, tetapi yang terdengar cuma diam.
Apakah kau juga demikian? Membisu dan terus membisu. Menyembunyikan ragu di dalam tatap yang sendu. Mencoba memalingkan muka, berharap masa lalu terhapus oleh detik yang tidak tersentuh mata.
Atau kau juga demikian? Teriak dan terus berteriak. Melantangkan takut dalam binar mata yang padam. Mencoba memudarkan masa, berharap itu akan terhapus oleh detik yang mencari gaduh.
Akan tiba masa, tanah yang basah akan kembali kering dan tanah yang kerontang akan menjadi liat. Masa ketika satu tubuh diganti oleh tubuh yang lain. Masa ketika zaman diganti oleh zaman yang lain.
Tidakkah kau melihat, mereka yang berjalan kokoh. Bahkan dalam hujan ataupun berteduh terik. Kaki yang melangkah tanpa mengenal surut. Tangan yang bergontai mengepal tanpa mengenal ulur. Tatapan yang menunduk meneropong jalan perjalanan.
Maka lihatlah mata-mata mereka. Mata yang diam tapi memiliki beribu kisah tentang perjalanan. Bahwa manusia bukanlah satu tunggal, namun rangkaian dari setiap episode yang terus berjalan. Masing-masing kita adalah figuran. Masing-masing kita adalah tokoh utama. Masing-masing kita adalah antagonis. Masing-masing kita adalah protagonis.
Hujan masih terus turun. Jalanan kini sepi, terkecuali beberapa mobil yang lalu-lalang. Orang-orang berdiam dalam atap-atap yang rapuh. Terdengar beberapa mereka menggerutu, tentang hujan yang membangun tembok. Beberapa yang lain bergembira, bahwa kering akan segera berganti masa.
Lantas aku bagaimana? Tentang hujan, air, guntur, dan tanah yang basah. Aku bagaimana?
Maka aku hanya terdiam dan memejamkan kata. Cukuplah bagiku, mendengarkan lagu dari tiap tetes air yang memeluk daun dengan segala kerinduannya.