Nikmat Manakah Yang Engkau Dustakan?

meraba jalan
sumber: viva.id

Awalnya aku biasa saja. Tidak peduli sama sekali. Sampai kemudian, dudukku berpindah di samping lelaki itu. Dia mengangkat handphonenya, mendekatkan ke telinga, sambil mengetikkan beberapa huruf di keyboard handphone yang aku duga Nokia E63 atau sejenis BlackBerry Gemini. Agak aneh, pikirku saat itu. Bukan sesuatu yang biasa manusia normal lakukan, sampai kemudian aku melihat arah matanya, ternyata dia menatap dengan pandangan kosong. Lelaki itu buta.

Tiba-tiba saja, seorang ibu berteriak “kiri” memberi sinyal untuk turun. Tetapi angkot itu lambat reaksi. Berkali-kali sang ibu berteriak, “aduh udah terlalu ke depan ini“, sampai akhirnya angkot itu berhenti juga. Ternyata, ibu tersebut memberi sinyal untuk lelaki yang duduk tepat di sampingku ini.

Aduh, kasihan ini terlalu ke depan.” dengan wajah pias, sang ibu bersungut.

Lelaki di sampingku mulai turun, dengan kepayahan. Jarak antara angkot dengan jalan yang hendak ditujunya terlalu jauh. Harus menyeberang melewati berbagai kendaraan yang datang silih berganti. Sebagian acuh tak ingin berhenti. Terlalu egois untuk sejenak reda dalam aktivitas, memberikan jalan seorang buta yang hendak menyeberang.

Baca Selengkapnya

Memungut Kerikil

kerikil
sumber: thewonderful7.blogspot.com

Pernah suatu ketika aku melihat seorang anak dengan hobi yang aneh: memungut kerikil. Karena tidak tahu dengan apa yang dikerjakannya, aku cuma berjongkok heran memperhatikan. Anak itu terus memilah, satu batu diambilnya, diperhatikan, lantas dibuang, batu yang lain pun demikian, sampai kemudian dia menemukan satu batu untuk disimpan.

Dasar anak-anak! Batu yang disimpan segera dibawanya pulang. Dan dalam perjalanan, ada raut kebahagiaan di wajahnya. Senyumnya mengambang. Terus berseri seiring langkahnya surut pulang.

Apalah arti sebuah kerikil, pikirku berhari kemudian. Namun, senyum semringah sang anak yang bahagia, sulit untuk aku lupakan. Sampai aku berkesimpulan: untuk bahagia, tidak perlu sesuatu yang wah. Cukuplah sesuatu yang sederhana untuk disyukuri.

Mengapa kita sering bersedih? Mengapa kita merasa bahwa dunia adalah kumpulan, irisan dari himpunan segala ketidakadilan dan ketidakbahagiaan. Bahkan, terkadang kita terus menguraikan segala alasan yang berujung kepada segala penderitaan kita. Sampai, pada satu titik, kita mulai menjadi mereka yang sering menyalahkan.

Tangan kita menunjuk si A adalah sumber penderitaan. Tak puas, kemudian kita menunjuk si B, si C, dan seterusnya. Bahkan setelah seluruh jemari telah habis menunjuk, tak luput kita membentangkan kertas dan mulai menuliskan nama-nama segala asal dari ketidakpuasan.

Baca Selengkapnya

Hati Yang Berbicara

holding hands
sumber: matthewsparty.com/

Masih ingatkah engkau, saat kita menghitung bilangan tahun. Dan sekarang, hanya menghitung bulan. Lantas kemudian hari, dan di ujung ada haru yang akan tumpah untuk setiap detik penantian.

Tapi, aku tak tahu apa yang menjadikan diam sebagai dinding. Apakah mungkin relief-relief yang kita ukirkan pada tembok-tembok ratapan membuat kita jemu. Atau, karena sibuknya kita mengalihkan segala sesuatu yang berujung rindu. Mencoba menekan sampai ke dalam sumsum tulang. Sampai-sampai, bahkan angin pun tak akan tahu.

Hatta, berminggu-minggu penantian aku rasakan bagai bilangan abad. Yang tidak mampu kuhitung kapan akan menciut menjadi tahun. Dan saat engkau mengabarkan kedatangan, maka sepenuh itu aku menjadi cemas. Apakah rupaku yang dulu kau lihat, masih tetap sama engkau cintai. Karena aku takut, elok rupa pria akan memalingkanmu dari dunia.

Lihatlah olehmu, dengan mata yang ada di kepalamu, tentang ringkihnya tubuhku semakin menjadi. Tentang uban-uban yang semakin lebat bersemai di kepalaku. Tentang mata yang semakin letih dan menjadi sendu. Dan urat-urat yang hadir menonjol di antara lenganku.

Baca Selengkapnya

Perempuan Bergincu Darah

bibir berdarah
sumber: metrobali.com

Sabtu, 28 Februari 2015. Ketika berjalan hendak ke kampus, saat itu aku melihat seorang anak manusia berjenis perempuan melewatiku. Dari kedua matanya ada riak air yang belum lagi habis terselesaikan. Bibirnya telah pecah. Darah banjir diantaranya. Entah, mungkin oleh sentuhan kelewat keras yang mengisi hari-harinya. Di sisinya, ada seorang lelaki yang sebaya dengannya, berjalan dengan wajah tegang.

Mereka berjalan cepat. Bahkan sekarang telah melewati punggungku. Kepalaku berpaling, menoleh ke belakang, dari kedua mulut mereka kembali muncul serapah. Aku memejamkan mata sejenak. Berdoa kepada Tuhan untuk mendamaikan mereka berdua.

Ingin rasanya aku berlari menuju keduanya, bercerita bahwa cinta jauh lebih indah daripada bergumulan yang menciptakan darah. Memisahkan mereka yang sedang dimainkan oleh setan, yang mengalir melewati darah. Memisahkan mereka yang sedang membenci satu sama lainnya. Tapi aku tak bisa! Yang entah bagaimana, langkahku seperti tidak menurut dengan apa yang hatiku titahkan. Dia terus berjalan menjauhi keduanya, membiarkan mereka meneruskan episode drama kehidupannya, dan aku menikmati hidupku sendiri, yang jauh dari masalah.

Baca Selengkapnya