Beberapa waktu yang lalu aku menemukan langganan tempat beli nasi yang baru. Aku memilih karena harganya lebih murah dari tempat yang biasanya aku beli. Warung padang ini menurutku lebih murah, satu porsi nasi dengan lauk telur dadar cukup merogoh kocek sepuluh ribu. Sebenarnya ada tempat lain yang lebih murah, yaitu di warung padang Simpang Tigo yang dekat Mesjid Salman ITB. Aku diperkenalkan tempat itu oleh teman labku, mas Yonan. Dulu, di Simpang Tigo, pakai ayam cuma sepuluh ribu!
Singkatnya, aku pun mulai terasa akrab dengan ibu penjaga warung padang itu. Walau tidak sampai tahu siapa nama ibu itu, paling tidak setiap aku mampir untuk membeli si ibu langsung tersenyum. Hal yang tidak biasa dia lakukan ketika awal-awal aku membeli, menjadikan indikator bahwa tampangku sudah dikenal dan ditunggu. Aku juga mulai berani bertanya kekurangan lauk yang tidak hadir dalam porsi nasiku, terkadang. Misal, aku bertanya tentang kelangkaan daun ubi (di Bandung, orang lebih sering menyebutnya daun singkong .pen) yang aku suka. Dari kegiatan bertanya itu, aku mulai mendengarkan curhat-curhat ibu warung.
Ibu warung terkadang mengeluh, terutama saat aku bertanya tentang ini-itu pada lauknya. Tentang kelangkaan daun singkong, harga barang yang naik, dan sebagainya. Dan aku, dengan kalemnya cuma mengangguk manut tanpa menimpali.