Mengapa lautan terus berombak?
kepan mereda
seperti aliran sungai yang mengalir
kemana dia bermuara
Lelaki itu, lelaki yang menemani 23 tahun hidupku berdiri di ujung ombak, sedikit kakinya berpasir, basah. Telah separuh kain celananya pun ikut basah, namun dia seperti tidak hirau. Tidak juga dia mengangkat celana itu hingga ke lutut seperti yang orang-orang lakukan. Bagiku, dia selalu asing.
Kami berdua berjalan menyusuri bibir pantai, bibir yang tak lagi perawan. Di sana-sini penuh sampah. Mulai dari plastik, botol minuman, tali nilon, bahkan sisa arang yang belum lagi habis terbakar. Orang-orang sering mengadakan camping di sini, bagi mereka itu seperti menyatu dengan alam, tetapi mereka tidak pernah bersatu. Mereka cuma menjajah alam, menjamahnya lantas mencampakkan.
Andai manusia tahu apa yang alam bicarakan tentang mereka. Andai Tuhan tidak melarang, tentu habis semua makhluk yang bernama manusia. Alam telah terlanjur dendam, dan aku merasakannya. Bisikan-bisikan mereka, kemarahan, dendam, serta keinginan-keinginan mereka.
Di pantai, di laut, semua pepasir berbisik.
Lelaki itu mengembangkan tangannya, meluas selebar bahu. Sayup, aku seperti melihat empat sayap dari bahunya, sayap putih, terkepak, namun tidak juga mampu terbang. Aku tahu, lelaki jenuh. Aku tahu dia merindu, kerinduan hebat terhadap realitas tertinggi. Sesuatu yang tak akan mungkin terpahami.
Air, semua itu sama
entah lautan, sungai, bendungan
eksistensi yang sama
untuk nama yang berbeda
“Aku ingin pergi Ben,” katanya suatu ketika.
Aku yang mendengar tersentak kaget. “Pergi kemana?” Batinku.
Dia, lelaki yang 23 tahun menemaniku tersenyum. Tidak kulihat urat lelah dari wajahnya. Wajahnya seperti biasa, putih, teduh, tersenyum, memancarkan ketenangan yang tak terbantahkan. Aku selalu merindukannya, aku tak mungkin bisa berdiri jika tidak karenanya.
“Aku lelah, aku ingin kembali pulang ketika di mana aku menjadi ada,” lanjutnya.
“Bukankah engkau memang ada! Bukankah di sini engkau ada.” Aku tak mengerti.
Lelaki itu tersenyum, “aku ingin menjadi sebenar-benar ada.”
Untuk kali ini, dan untuk kesekian kali aku masih saja tak mengerti apa yang diungkapkan lelaki itu. Bahkan setelah 23 tahun aku hidup dalam satu raga dengannya.
Aku benar-benar kebingungan. Dengannya. Dengan bumi, langit, lautan, dan ombak.
Seluruh semesta seperti berseru, berdengung-dengung di telingaku. Aku menutup telingaku, tak tahan. Terlalu banyak bisikan, aku tak mampu menalar.
Aku benar-benar bingung. Aku capai. Bahkan ketika pasir berbisik.