Saat buka Youtube, entah kenapa lagu-lagu Sheila on 7 muncul di layar utama. Dari mendengarkan lagu Pemuja Rahasia, dan sekarang Itu Aku. Di antara seluruh lirik, yang paling aku suka pada bagian “Tahukah lagu yang kau suka / tahukan bintang yang kau sapa / tahukah rumah yang kau tuju / itu aku“.
Menjadi seseorang yang dicintai oleh orang yang kita cintai, rasanya seperti sebuah nikmat di antara nikmat yang luar biasa yang diberikan Tuhan kepada manusia. Nikmat untuk saling mencintai dan merasakan cinta itu sendiri 🙂
Ada sebuah rasa yang hadir di dalam diri setiap anak-cucu Adam yang bernama rindu. Sebuah rasa hebat ingin bertemu, berjumpa, dan melihat rupa. Sesuatu yang jika telah jumpa, maka pisah bukanlah sebuah jawaban ataupun opsi. Hampir-hampir, tidak boleh ada kosakata yang bermakna pergi atau berpisah yang hadir, jika rasa itu telah muncul. Iya! Demikianlah adanya.
Kamu yang membaca tulisan ini pun mungkin telah merasakan hal yang sama. Segala rasa yang terkumpul di dalam dada. Perasaan berkecamuk hebat yang ingin segera dituntaskan: bahkan hanya dengan sebuah suara yang hadir atau tulisan yang datang tiba-tiba.
Menunggu. Terkadang itulah alasan mengapa perasaan ini hadir. Perasaan yang akan selalu hadir pada seluruh anak-cucu Adam di dunia ini. Siapapun dia. Perasaan menunggu yang saat telah cukup terkumpul akan menciptakan kerinduan hebat yang bahkan pribadinya akan sulit mengungkapkannya. Hanya hati yang mampu berbicara, namun tidak ada lisan anak manusia yang mampu merapalnya.
Seseorang yang aku cintai di dunia ini terkadang bertanya, mengapa aku sudah jarang menuliskan lagi sebuah lagu kehidupan seperti yang dulu-dulu di dalam blogku ini. Dengan berkelakar, aku selalu menjawab: tak ada lagi yang perlu aku tuliskan. Segalanya telah sempurna sejak engkau hadir dalam hidupku.
Aku memang jarang melirik lagi blog ini. Cuma sesekali aku melihatnya. Bayangkan, aku pribadi saja telah malas melihat blog ini, apalagi mereka yang lain? Terkadang aku merasa capek. Terlalu lelah dengan segalanya.
Sudah beberapa hari ini aku merasa begitu datar. Bahkan ketika aku tidak bisa menjawab semua soal UAS (Ujian Akhir Semester) dengan sempurna, aku tidak merasakan apapun, tidak juga kesedihan. Aku merasa datar saja. Teramat datar. Seperti sebuah garis lurus sempurna. Seperti melihat sebuah osiloskop tanpa ritme dan gelombang. Yang terpampang cuma garis datar tanpa akhir.
Kepada seseorang aku katakan sebuah kejujuran: aku merasa hampa sekali. Kekosongan yang tiada akhir. Dan ironi, bukankah dulu ini yang aku cari. Sebuah perasaan kosong tanpa mengenal cinta, suka, bahagia, rasa sedih, dan seluruh nestapa juga nelangsa. Bukankah ini yang selama ini aku cari?
Dan dia — temanku — menjawab: mungkin Tuhan sedang akan mengisinya dengan seluruh kebaikan.