Beberapa hari yang lalu aku sungguh kesal. Sangat kesal! Darah rasanya naik ke ubun-ubun, tetapi aku tidak pernah bisa marah. Ketika aku mau marah, aku biasanya lebih sering memendam rasa amarah itu sendiri. Persoalannya sepele dan aku rasa hampir selalu terjadi di negeri yang “ngakunya” teramat kaya. Sebuah kejadian sistemik yang sulit sekali dibangun di dalam jiwa-jiwa penduduk negeri ini: “ANTRI“.
Setiap orang ingin cepat selesai. Ingin menjadi nomor satu tanpa mau menunggu. Dan setiap orang, dengan keegoisannya, selalu datang telat namun selalu ingin selesai cepat.
Kata Antri menjadi momok. Kadang aku suka sebal, dengan orang-orang yang tidak ingin mengantri. Bagiku, rasa kemanusiaan mereka sedikit terkikis, bahkan aku memasukkan mereka ke dalam kategori bebal yang bertambah-tambah. Dan parahnya lagi adalah mereka yang menitipkan antrian kepada mereka yang sudah lebih dahulu datang dan berada di depan.
Sungguh keterlaluan sekali aksi manusia yang tidak ingin ikut mengantri namun meminta jatah roti. Mereka yang tidak antri santai saja menunggu di pojok-pojok dingin tempat mereka berteduh, duduk leyeh berleha-leha, sedangkan orang yang antri harus siap berpanas ria dan kakinya gemetaran karena terlalu lama berdiri.
Baca Selengkapnya