Banyak orang mengagumi Steve Jobs, namun aku tidak.
Terkadang aku melihat banyak kemiripan antara Steve Jobs dengan Hitler pada beberapa kondisi. Terutama, tentang sosoknya yang fasis, ego sentris, hanya memikirkan diri sendiri, kekanakan, dan terlalu memeras orang lain. Jujur, bagiku sosok yang lebih layak dikagumi adalah Steve Wozniak, paling tidak, orang itu lebih dekat karakternya dengan sosok manusia.
Ketidaksukaan pada Steve Jobs pun semakin menjadi setelah aku membaca buku biografi tentangnya yang ditulis oleh Isaac Walterson. Sebagian sisi kelam Jobs pun terkuak di sana, yang bahkan tanpa hati mempatenkan karya Jonathan Ive sebagai karya miliknya. Namun aku yakin, walau demikian tetap saja ada jutaan orang yang mengaguminya sebagai sosok inovatif dengan segudang karyanya yang ciamik, di luar sisi manusianya tersebut. Sosok yang bahkan tega membuang anak biologisnya sendiri.
Kemudian aku berpikir. Manusia dihargai karena kecintaannya kepada sesama manusia, atau karena apa yang telah dihasilkannya. Karena, keduanya memiliki segmen tersendiri. Misal, andai kata manusia cuma dicintai karena karyanya, maka kenapa para Santo dikenal dan dicintai. Sebaliknya, jika manusia dikenali karena kebaikannya, kenapa mereka yang berkarya namun tidak punya hati begitu dielukan.
Hal yang sama juga seperti Stalin, jutaan yang terbunuh tidak membuat perannya begitu hancur seperti Hitler. Atau tentang Soekarno yang memenjarakan lawan-lawan politiknya dan Soeharto terhadap dosanya membunuh jutaan orang yang diduga sebagai antek PKI.
Kadang aku heran melihat manusia. Sebenarnya, apa yang membuat mereka begitu mencintai orang lain. Apakah segala cinta itu bersumber dari kebutaan, atau mungkin tentang pelajaran yang telah ditanamkan: bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan luput dari kesalahan.
Steve Jobs mungkin telah mati, namun orang-orang yang mirip dengannya akan selalu tumbuh dan muncul. Salah satu contoh menarik adalah temanku, dia pecinta Jokowi sejati. Segala hal buruk yang diberitakan media tentang Jokowi membuatnya lebih baik menutup mata dan menyumbat telinga. Jokowi cengegesan telah membuatnya jauh lebih bahagia daripada mendapatkan dunia dan seisinya. Kecintaan membuatnya buta, sampai berbagai ketimpangan yang terjadi dianggap sebagai salah satu strategi sang penguasa saat ini dalam memainkan bidak caturnya. Seolah, yang sedang berkuasa adalah sosok manusia setingkat dewa.
Sebenarnya tidak demikian. Orang-orang yang mencintai dalam kebutaan itu sebenarnya tahu, namun mereka menolak segala buruk yang terbiakkan. Mungkin, alasannya adalah malu. Malu mengakui bahwa telah mencintai sesuatu yang tidaklah sempurna. Sesuatu yang timpang dan sangat fana.