Memberontak Kesendirian

Memberontak Kesendirian

Suatu siang, dalam sebuah percakapan, temanku tak percaya saat kukatakan bahwa aku jarang melakukan segala sesuatu dalam kesendirian. Aku tidak berbelanja sendiri, tidak ngopi sendiri, tidak ke dokter sendiri, apapun itu — aku tidak sendiri.

Dia tidak percaya. Dia selalu merasa bahwa aku adalah sosok seorang introvert — mereka yang nyaman dalam kesendirian, pemalu, dan berpikir sebelum berbicara. Maka ketika aku engan melakukan segala sesuatu tanpa seorang teman, segala sosokku dalam benaknya serasa dijungkar-balikkan.

Kemudian selanjutnya aku bertanya, mengapa dia bisa begitu mudah melakukan segala hal dalam kesendirian? Seperti berjalan sendiri tanpa ada yang menemani, berbelanja sendiri, menonton sendiri, menikmati secangkir kopi sendiri dalam hiruk manusia yang tidak alpa berbicara. Dan seperti yang aku tebak, dia pun tidak mengerti mengapa dia bisa melakukannya. Hanya sebuah alasan bahwa, “ya bisa saja, kenapa tidak.” — hanya itu.

Maka kemarin, aku mulai mencoba berontak. Mencoba menguji apakah aku mampu tegas dalam kesendirian. Akupun mencoba berjalan sendiri mengelilingi separuh kota saat subuh berganti pagi. Duduk di sebuah warung kopi ketika orang-orang bahkan belum lagi beranjak dari pintu rumahnya untuk pergi.

Baca Selengkapnya

Steve Jobs Close Up

Tidak Suka Steve Jobs

Banyak orang mengagumi Steve Jobs, namun aku tidak.

Terkadang aku melihat banyak kemiripan antara Steve Jobs dengan Hitler pada beberapa kondisi. Terutama, tentang sosoknya yang fasis, ego sentris, hanya memikirkan diri sendiri, kekanakan, dan terlalu memeras orang lain. Jujur, bagiku sosok yang lebih layak dikagumi adalah Steve Wozniak, paling tidak, orang itu lebih dekat karakternya dengan sosok manusia.

Ketidaksukaan pada Steve Jobs pun semakin menjadi setelah aku membaca buku biografi tentangnya yang ditulis oleh Isaac Walterson. Sebagian sisi kelam Jobs pun terkuak di sana, yang bahkan tanpa hati mempatenkan karya Jonathan Ive sebagai karya miliknya. Namun aku yakin, walau demikian tetap saja ada jutaan orang yang mengaguminya sebagai sosok inovatif dengan segudang karyanya yang ciamik, di luar sisi manusianya tersebut. Sosok yang bahkan tega membuang anak biologisnya sendiri.

Kemudian aku berpikir. Manusia dihargai karena kecintaannya kepada sesama manusia, atau karena apa yang telah dihasilkannya. Karena, keduanya memiliki segmen tersendiri. Misal, andai kata manusia cuma dicintai karena karyanya, maka kenapa para Santo dikenal dan dicintai. Sebaliknya, jika manusia dikenali karena kebaikannya, kenapa mereka yang berkarya namun tidak punya hati begitu dielukan.

Hal yang sama juga seperti Stalin, jutaan yang terbunuh tidak membuat perannya begitu hancur seperti Hitler. Atau tentang Soekarno yang memenjarakan lawan-lawan politiknya dan Soeharto terhadap dosanya membunuh jutaan orang yang diduga sebagai antek PKI.

Baca Selengkapnya