Lelaki itu menatapku lekat. Ada kehampaan dari matanya, kehampaan yang terlahir dari jiwa-jiwa letih yang penuh pengharapan namun harus tersungkur oleh kekalahan. Lelaki yang kalah oleh cinta.
“Ben, abang ga bisa melupakannya,” lelaki itu membuka suara. Seperti yang sudah-sudah, selalu tentang dia. Tentang wanita yang dimataku bukanlah apa-apa, wanita yang tak akan mampu menyandang predikat puteri atau bidadari. Wanita yang teramat biasa namun baginya adalah sebuah keharusan cinta. “Abang cinta banget sama dia.”
Aku diam, sengaja mencoba tidak memandang matanya memberikan waktu untuk melanjutkan segala keluh-kesah yang mengumpul dari jiwa-jiwanya yang gundah dan kalah.
…, tak ada lanjutan. Aku memandang matanya, mata yang layu kalah perang. Mata itu mulai mengkilat, mulai berair. Dia menangis.
Aku amat sangat mengerti apa yang dirasakannya. Aku pernah seperti itu.