Sebuah Jawaban dari Tuhan

Barusan Tuhan berbicara dengan teknologi, dia memberikanku jawaban lewat SMS melalui nomer si jelek Nidya Ratih Anjarini. Jawaban yang selama ini ingin kudengar secara verbal dan tertulis.

“Yah itu teserah u. Rs suka itu fitrah. Tp ga perlu ditunjukkan. Biarin aja dy berlalu lwt wkt. Klo emg allah ngizinin. Pst bkl jodoh. Lgn u ikhwan. INGAT! Jgn jthkan islam dgn perilaku ngncr perempuan. Cnt pd allah adlh seegaalaanaa. Sijelek pinter ngomng kn! Pjg…Lg… Haha2” (sengaja ditulis tanpa editan).

Ah, ternyata jawaban yang kuinginkan keluar lewat jari-jari si jelek Nidya yang ngetik sms. Diantara jawaban kawan-kawan lain yang ingin saya mengungkapkan tabir lisan ini, malah bahkan diantara mereka yang menggunakan perangkat taqwa seperti jilbab. Nidya yang cuma baru 1 tahun berkecimpung dalam hiruk-pikuk dakwah muncul memberikan jawaban yang telah lama saya nantikan.

Ahh… itu adalah sebuah jawaban kepastian. Aku menyebutnya: SEBUAH JAWABAN DARI TUHAN.

Jawaban sms itu langsung membuat dada yang tadi terasa sesak menjadi begitu lapang. Ahh, sebuah perasaan lega yang datang entah dari arah mana membawa angin ketenangan yang sangat amat menyejukkan.

Nidya atau Ratih bagi saya adalah sebuah keunikan. Dalam komunikasi kadang saya sering bertanya “udah pernah pacaran belom?”, dan Nidya memberiku jawaban “BELUM”. Lalu saya kembali bertanya “Uda pernah jatuh cinta belom?”, dan dia menjawab “UDAH”.

Dan ternyata salah seorang pria yang dia cintai pernah menembak dia, namun dia menolaknya. Memang terkesan mudah, namun saya berpikir jika aku berada dalam posisinya mampukah saya melakukan hal yang sama?

Jika saya berada dalam posisi mencintai seseorang, MRN misalnya, lalu kemudian MRN meminta saya menjadi kekasihnya. Pada saat yang demikian, mampukah saya menolak MRN padahal hati ini sungguh menginginkannya.

Karenanya saya menganggap Nidya adalah pribadi yang unik dan istiqamah, semoga sifat istiqamah itu selalu bersamanya hingga nafas terakhir tiba walaupun sebagai sosok remaja Nidya masih bocor disana-sini :).

Adalah hal yang sangat membanggakan, karena dimana saat-saat yang demikian banyak akhwat yang tumbang hanya karena masalah percintaan. Juga keteguhan yang luar biasa, karena dalam beberapa kasus banyak akhwat yang keder saat mendapat serangan itu.

Salah seorang teman malah berpacaran hanya karena dipaksa oleh lelaki yang menjadi pacarnya, padahal dia tidak suka. Namun mungkin dengan alasan kasihan akhirnya mereka jadian juga.

Bahkan ada yang lebih miris lagi, seorang teman lagi yang dulunya sangat anti-pacaran malah sekarang mulai coba-coba untuk berpacaran, padahal yang dia rasakan bukannya nikmat malah pedihnya sebuah penghianatan tetapi mereka tidak pernah mau mengambil pelajaran.

Dalam fase kelembaban usia, kita mulai belajar jatuh cinta. Tepatnya belajar mencintai dan dicintai, namun ada beberapa rule-rule atau aturan yang harus dipatuhi. Kebanyakan mereka mencoba mematahkan aturan-aturan tersebut dengan alasan modernisasi atau mencoba untuk tidak konservatif. Sebahagian yang lain berasalan: “Toh saya tahu aturan-aturannya” namun aturan yang bagaimana yang mereka anggap?!

Temanku, zina itu bukanlah apa yang hanya berada diantara perut dan lutut.

Terima kasih Tuhan, terima kasih Nidya. Sebuah jawaban yang selalu saya inginkan telah terjawab, walau mampu menjawabnya namun butuh mulut yang lain untuk mengimaninya.

Terima kasih Tuhan, engkau hambaku dan aku tuhanmu.

EVOLUSI Terakhir ?

Tuhan menciptakan sebuah puzzle kehidupan yang unik untukku, memerintahkanku bermain manis dengannya, dan lalu kemudian aku tersedot ke dalam arus puzzle itu.

Dia memberikan potongan hati, potongan harapan, potongan usaha, dan potongan masa depan. Memintaku dengan tulus menyusun tiap potongan menjadi sebuah Maha Karya. Puzzle yang unik, puzzle yang tidak terikat oleh bentuk atau apapun karenanya aku bebas merangkai hidup.

Namun dia juga bercerita, bahwa ada bingkai yang harus ditaati dan dia menamakannya rahasia sedang aku menyebutnya takdir. Bingkai yang kokoh yang dibangun dengan penuh otoriter, bingkai yang begitu kuat hingga tidak satupun hembusan nafas ini kecuali telah dicatat-Nya, dan aku menikmatinya.

Dan apakah EVOLUSI telah berakhir ?!

Aku sendiri tak mengerti. Daripada memikirkan tentang evolusi, aku lebih memilih menata puzzle-puzzle milikku. Tuhan memberikan waktu yang begitu singkat untukku dalam menyelesaikannya, Dia memberikan batas waktu hingga akhir nafas ini.

Sebahagian puzzle telah menjadi rangkaian, yaitu; aku yang ceroboh, yang urakan, yang pemalas dan begitu manja. Menurutku itu puzzle yang buruk, karenanya aku meminta izin kepada Tuhan untuk mengubahnya. Tuhan tersenyum, Dia bangga ternyata aku sadar dan mendekati dewasa.

Lalu Dia memberikan pertanyaan untukku yang tidak harus ku jawab secara verbal, namun dengan memintaku terus menyelesaikan puzzle-ku. Dia memberikan aku pertanyaan “patah hati”, memberiku pertanyaan “keterasingan”, memberiku pertanyaan “kepedihan” dan lainnya. Lalu Dia memintaku menjawabnya dengan “SENYUMAN”.

Ada beberapa pertanyaan yang mampu kujawab, namun masih banyak pertanyaan yang harus kucari jawaban, salah satunya adalah keterasingan dan kepedihan. Untuk pertanyaan “patah hati” aku menjawabnya dengan waktu, dalam prinsip waktu semua pasti berlalu.

Ahh, puzzle yang begitu kecil juga begitu besar. Terkadang ada kebuntuan dalam menatanya, dan sering air mata ini mencoba bertanya kepada Tuhan, namun Dia diam sambil tersenyum. “Baiquni, Aku memintamu untuk menyelesaikannya untuk-Ku maka lakukanlah. Jawablah dengan kehidupanmu, langkahmu adalah penentuan-Ku“.

Kebisingan hati membuatku sedikit tidak berkonsentrasi, dan itu adalah bagian dari proses menata sang puzzle. Membuatnya menjadi sebuah Maha Karya yang entah itu aku banggakan atau aku tangisi.

Rehat sejenak aku menatap kiri-kanan, ternyata mereka melakukan hal yang sama. Bersama-sama membangun Maha Karyanya, bersama-sama berevolusi menjadi jati diri. Ahh… ternyata ada yang telah menyelesaikannya dengan begitu singkat, dan dia hanya tersenyum mencoba membantu yang lainnya. Mereka telah mampu tertawa bersama Tuhan.

Berpikir tentang puzzleku, aku tertekun. Ada banyak sisi yang harus diubah, ada banyak bagian yang harus kembali fundamental. Terlalu lama aku bermain dengan teori, terlalu lama…

Cinta, kesedihan, keterasingan, penderitaan, kesombongan, obsesi. Ahh, tak mudah membangun puzzle yang indah.

Aku menutup mata, mencoba mencari Tuhan. “Tuhan, sanggupkah aku ?

Dia diam, selalu sambil tersenyum. Tak ada anggukan atau gelengan, mengulurkan tangan-Nya memberikanku waktu dan pengalaman serta masa lalu dan menganugerahiku dengan harapan.

Tuhan, EVOLUSI BELUM BERAKHIR KAN ?!

Yang Lelah dalam Penantian

Aku terlalu lelah puteri, aku terlalu lelah. Lelah dalam menata hati ini, hati yang sedikit demi sedikit terkikis cemburu, hati yang semakin menipis, hati yang telah penat dalam penantian.

Dirimu memang tidak pernah berbicara lagi tentang dia, karena seperti yang kita tahu bahwa cukup lama tak ada komunikasi antara kita. Namun perhatianmu, keinginanmu, rasa gundahmu yang kau persembahkan untuknya telah cukup menceritakan apa isi hatimu padaku puteri. Dan aku merasa ini bukan hanya prasangkaku.

Jujur puteri, aku ini bukan apa-apa bagimu khan?

Jujur saja puteri, tak perlu kau beri aku peluang dengan senyumanmu. Biarkan aku terluka dengan sangat tanpa pengharapan daripada harus meraba asa yang lalu kemudian jatuh melesat dalam perut bumi saat aku tersadar bahwa tak pernah ada aku dalam kamus kehidupanmu, kalaupun aku mejawantah dalam kehidupanmu tentu bisa dipastikan bahwa aku tidak pernah hinggap dalam tepian hatimu, bahkan bagian terluar dari itu.

Cukup 2 (dua) tahun aku memahami tentang aku, tentang kamu. Namun seperti yang telah kuperkirakan akan apa yang tertulis dalam catatan sang waktu, mungkin kita memang tercipta bukan untuk dalam persatuan. Kau miliknya dan aku entah kepunyaan siapa.

Puteri, apakah benar dugaanku seperti yang kuutarakan di atas? Atau memang itu hanya sebagian dari prasangkaku yang salah karena seperti yang telah diberitakan bahwa sebahagian besar prasangka adalah sebuah kesalahan.

Puteri, mungkin saat kamu membaca ini kau tidak akan pernah tahu bahwa dirimu lah yang kutuju, karena memang aku tidak pernah dan tidak akan pernah membuka tabir rahasia ini. Terlalu malu diri ini saat harus terpuruk dan mengetahui bahwa dirimu tak pernah menganggapku ada. Terlalu lemah diriku untuk menerima sebuah kenyataan bahwa aku harus kembali terpuruk.

Puteri, ijinkan aku tersenyum lepas, bebas, dan puas. Ijinkan aku melakukannya dengan melupakanmu. Ijinkan aku mengakhiri tali-tali antara kita berdua. Dan kamu telah mengambil langkah itu terlebih awal dariku.

Aku mengerti puteri, mungkin sangat amat mengerti.

Dan seperti yang telah diberitakan dalam sejarah kehidupan: SEMUA PASTI BERLALU.

Mari puteri, kita tersenyum bersama. Mari kita menertawakan bersama bagaimana sang waktu telah memporak-porandakan hatiku ini. Mari kita berpesta tentang betapa leburnya hatiku ini. Mari kita bersulang untuk kepedihan beratus-ratus dera yang merajam diri ini.

Puteri, tersenyumlah selalu. TETAPLAH TERSENYUM UNTUKKU WALAU KAU TAK PERNAH MELAKUKANNYA UNTUKKU.