Kamu tidak bodoh ben, kamu hanya lugu… terlalu lugu.
Aku tak menghiraukan kata-katanya, tetap duduk melingkarkan tanganku pada lutut yang tertekuk. Separuh wajahku ngungsep dalam lipatan tangan berpangku pada lutut, hanya menyisakan sederet mata letih yang memandang aliran deras sungai.
Aku menarik nafas panjang, terlalu panjang rasanya untuk satu hirupan nafas, bagai bertualang rasanya ketika aliran oksigen bercambur uap air itu memasuki hidungku lalu menjalar dalam tenggorokku, berlalu cepat menuju paru-paruku dan dengan begitu cepat darah merampasnya, memperkosanya ke seluruh tubuh lalu nafas sisa kubuang. Satu hembusan yang panjang untuk sebuah kimia karbon dioksida yang kuhadiahkan kepada semesta.
“Terlalu lugukah aku?”, batinku sesak.
Baca Selengkapnya