Aku Membosankan

Aku membosankan. Aku rasa, demikianlah aku.

Habis Isya tadi, begitu pulang, aku merasa sangat bosan. Dari sore tadi aku juga sangat bosan. Jujur, aku tidak tahu mengapa. Dan mengapa kita merasa bosan? Karena diri kitalah yang membosankan.

Aku mengetikkan hal tersebut di status facebook. Rata-rata teman mencoba menyemangati aku bahwa aku bukanlah orang yang membosankan. Beberapa bercerita bahwa mereka senang berada di dekatku, dan menunggu lawakan-lawakanku berikutnya. Bahkan seseorang sempat mengirimkan sebuah pesan, bertanya, apa yang terjadi padaku sebenarnya.

Tidak ada terjadi apa-apa selain aku mulai mengerti bahwa aku ini membosankan.

Aku chatting dengan beberapa teman di BlackBerry Messenger, dan aku merasakan reaksi yang tidak aku inginkan. Chatting sebentar kemudian semua kami menjadi diam. Aku merasa, akulah faktor utama efek diam tersebut, karena aku tipikal orang membosankan.

Seseorang suka berbicara dengan mereka-mereka yang berwawasan luas. Namun aku tidak. Wawasanku sempit dan tidak luas. Bacaanku sedikit. Aku tidak mampu mengatur ritme arah pembicaraan berkenaan dengan hal yang serius. Apa yang masuk ke dalam otakku seperti masuknya tumpukan sampah. Semua baur tidak tertata rapi.

Karenanya aku lebih suka menulis. Bermonolog. Ketika menulis, aku membaca kembali apa yang aku katakan. Aku eja, aku ulang kata, aku edit. Sangat berbeda dengan ketika aku berbicara atau bercakap-cakap dengan huruf dan angka. Menulis lebih membuat aku menata diri.

Aku membosankan. Jangan pungkiri itu.

Aku lebih suka dengan seseorang yang jujur, ketika dia berkata, “Aku merasa pertemanan kita membosankan.

Dan aku menjawabnya, “Kalau begitu, kamu boleh meninggalkan aku.

Kali ini. Aku serius dengan kata-kataku itu. Silahkan tinggalkan aku jika merasa bosan denganku. Aku tidak pernah ingin menjadi beban. Tidak bagi siapapun. Terlebih, ketika mulai merasa seperti yang aku rasakan: AKU MEMBOSANKAN.