Aku Menangis (Lagi)

Malam ini, aku menangis. Tepat saat seseorang memberikan tautan tentang sebuah tulisan berjudul “Karena Ukuran Kita Tak Sama” karya seorang Salim A. Fillah. Tulisan itu membuat aku ingin terus membaca tulisan berikutnya.

Dadaku bergetar, tentangnya yang dikisahkan oleh seorang Salim. Tentang banyak “nya” yang telah aku lupakan, terlupakan, atau memang sengaja aku ingin agar menjadi lupa. Dadaku hebat bergetar, hingga mungkin, rahang-rahang menjadi kaku setelahnya.

Sudah lama aku tidak menangis. Tidak seperti ini.

Terakhir aku menangis adalah kemarin. Saat gempa hebat melanda Aceh dan aku mengira kiamatlah hari itu akan tiba. Aku mengira tsunami akan kembali hadir di bumi ini. Dan aku, tetap aku, tanpa bekal yang cukup jika menghadap Tuhan nanti. Menangis di antara sujud-sujud yang lebih panjang dari biasanya.

Aku menangis. Aku tidak mengusapnya. Tidak mencoba agar ini berhenti. Aku membiarkannya. Memberikan diriku, hatiku, jiwaku, sedikit kesempatan untuk mengeja makna-makna yang Tuhan sampaikan melalui tangan-tangan yang lain. Aku ingin tangis ini tidak henti, tidak cukup sampai di sini.

Aku ingin menangis hingga malam ini usai berganti pagi. Tidak masalah, jika esok, ini menjadi merah. Tidak apa, jika kembung hadir di antara wajah. Aku cuma ingin menangis, dan berharap ini tidak berhenti.

Momen-momen tangisan, saat itu hadir menggetarkan hati, aku menjadi begitu dekat dengan Tuhan. Seperti, Dia tidak di langit, namun tepat di depanku. Tidak, ini lebih dekat lagi. Bahkan jauh lebih dekat daripada apa yang diucapkan-Nya, saat Dia berfirman, “lebih dekat daripada urat nadi.