Dalam salah satu hadist dikatakan, “ciri-ciri munafik itu ada 3, yaitu: (1) bila berkata dia berdusta, (2) berjanji namun mengingkari, dan (3) diberi kepercayaan namun khianat.” Dan aku merasa bahwa aku seperti seorang munafik ketika salah satu syarat itu kudeteksi ada pada diriku sendiri.
Berulang kali aku membangun janji namun berulang kali pula aku mengingkari. Tidak cuma janji pada orang lain, namun pada diriku sendiri. Entah berapa banyak jiwa yang kecewa akibat janji yang urung tunai dituntaskan.
Beberapa waktu yang lalu aku berjanji pada beberapa orang untuk melakukan ini dan itu. Namun karena berbagai sebab, aku urung menunaikannya sampai mereka terus bertanya, kapan penantian mereka akan usai.
Mungkin ini karma. Pada sisi yang lain, aku adalah mereka yang menjadi pihak yang kecewa karena janji-janji yang terus teringkari. Dari sana aku belajar, tentang rasa sakit berbuah kecewa akibat memeluk janji-janji yang mungkin saja ternyata palsu.
Benarlah petuah yang berbunyi, “kau tak akan merasakan apa orang lain rasakan terkecuali kau mengalami hal yang serupa.”
Akibatnya, aku mulai tak peduli lagi dengan janji-janji manusia. Aku tak akan pernah percaya sampai mereka mengatakan sumpah untuk menepati. Jika setelah sumpah, pengingkaran masih saja terjadi maka biarkan urusannya dengan Tuhan nanti. Aku tak peduli lagi.
Manusia pintar mencari alasan. Ada saja alasan yang mereka berikan, baik untuk ketidaktepatan sebuah janji atau sebagai pembatalan. Alasan yang bahkan terdengar begitu konyol dan remeh.
Apakah manusia tidak takut? Ketika nanti pada waktu mereka ditanyai tentang janji-janji yang mereka lupakan dan enggan mereka tunaikan. Hari ketika manusia akan ditagih namun tak ada sisa untuk membayar semua perkara.
Hal yang paling mengenaskan dari memegang sebuah janji adalah rasa kecewa yang teramat. Bayangkan, tentang hujan deras yang mengguyur, badai yang menggiring banjir mulai mendekat. Seseorang telah berjanji untuk menjemputmu pulang namun urung tertunaikan, namun kau terus menunggu sampai seluruh bah menghanyutkanmu dalam ketidakpastian. Engkau bahkan tidak sempat sekarat, mati perlahan dalam seluruh gundah.
Terkadang. Ingin rasanya mengutuk! Ingin rasanya membalas dengan hal yang jauh lebih sakit sampai kemudian kita disadarkan: “Tuhan melihat. Tuhan tidak diam.” – maka biarlah skenario berjalan dengan sempurna, biarlah setiap babak diselesaikan dengan lapang dada.
Setiap aku dikecewakan, aku selalu menyalahkan diriku. Mungkin pernah pada suatu masa, aku melakukan hal yang serupa. Mungkin pernah pada suatu masa, aku pun membangun rasa kecewa. Maka biarlah kecewa ini menjadi obat dan penebus, untuk setiap luka lama yang pernah tertoreh ada.