Kopi di atas meja

Air Mata (Lagi)

Aku mengerti perasaan itu. Tentang hati yang susah membeku, diwakili oleh bulir-bulir air yang jatuh dari dua bola mata indahmu.

Kau mungkin bertanya, mengapa aku tahu padahal aku tidak mengalami? Maka aku menjawab, karena hati kita saling terhubung. Apa yang kau alami, aku pun merasa juga.

Maka, tidaklah elok kau menyimpannya sendiri. Aku tahu hati manusia terkadang seluas samudera, tetapi palung terdalam di dalamnya pun memiliki batas.

Marilah kita duduk satu meja. Mari saling menyeruput kopi pahit ini bersama. Tak perlu memasukkan gula, apalagi garam yang akan mengganggu rasa. Biar kita saling menatap serta membuka hati. Dan dari bibir-bibir mungil itu seluruh cerita dimulai.

Babak manakah yang tak kau rasa pantas? Lantas mencoba mencari seluruh hikmah yang mungkin terlewat namun tetap alpa, hingga kau pun mengutuk-ngutuk Tuhan yang ada di atas langit sana.

Ceritalah. Jangan ragu, ceritalah.

Air mata itu dicipta memang untuk tumpah. Tak perlu dibendung, tak perlu dikekang. Karena hati yang teruji, dibasuh oleh air mata yang tak berjumlah.

Jangan kau malu. Persetan dengan dogma bahwa lelaki tak pantas menangis. Terkutuk seluruh pengucapan itu, terkutuk!

Kita adalah manusia, yang dicipta dari tulang dan daging. Dan di tempat paling aman, Tuhan menitipkan hati. Lebih dalam lagi, Tuhan menitipkan tak terjumlah air mata yang siap untuk tumpah oleh beribu kisah.

Aku masih menunggumu keluar dari bungkam itu. Menunggumu bercerita beribu kisah yang pantas. Yang kemudian daripadanya, seluruh air mata yang kau persaksikan itu hadir. Aku terus menunggu.

Sepetak meja yang di atasnya terdapat dua cangkir kopi menjadi saksi bahwa bungkam itu belum juga buyar. Dan aku cuma melihat mata sembab seorang lelaki di hadapanku.

Sampai seruput kopi terakhir, aku cuma melihat matamu kosong dengan pikiran mengawang. Masih saja kau menyimpannya sendiri.

Air mata itu mulai mengering. Air mata yang membuatku mengundang tanya, seberapa berat kisahmu itu? Apakah masih belum menyentuh palung terdalam hatimu, hingga yang muncul cuma air mata dan bukan sepatah cerita.