Ada dua tipe kehidupan. Pertama, berjalan seperti bidak catur dan kedua, berjalan seperti layaknya air yang mengalir. Mungkin ada tipe lainnya, namun secara garis besar aku menangkap dua tipe ini. Jika ingin lebih terdengar hebat, maka gunakan istilah liberal terhadap tipe pertama dan fatalis untuk tipe kedua.
Aku pribadi cenderung merasa bahwa kehidupan adalah sesuatu yang begitu cair. Ada banyak tangan tak terlihat yang menuntunku. Rasanya, seperti menaiki kereta api, telah ada rel untuk setiap pilihan tujuan.
Bertolak belakang dengan pendapat seorang teman, baginya kehidupan adalah kehendak bebas tanpa campur tangan Tuhan. Manusia adalah penentu dari segala kebijakan. Alasannya logis, karena tidak mungkin Tuhan akan menghukum manusia jika mereka cuma mengikuti takdir yang mendorong. Bukankah Tuhan itu Mahaadil?
Jika berbicara tentang masalah takdir ini, rasanya tidak akan ada habisnya. Bahkan telah berabad ada saja orang yang saling mendebat mengenainya. Dan aku tidak ingin ikut serta dalam pusaran yang tak pernah berakhir itu. Cukuplah bagiku untuk percaya, bahwa ada takdir indah yang menungguku di setiap helaan napas yang akan mencapai akhir ini.
Kembali ke masalah tipe kehidupan, aku ingin mengabarkan sebuah kisah, tentang apa yang kualami dan aku rasakan. Rasanya, seperti ada saja dorongan agar aku kembali ke jalur yang sebenarnya. Terkadang seperti bisikan, terkadang seperti domino yang jatuh berantai menjadi babak-babak dalam setiap episode kehidupan. Aku merasakan ketika diriku berontak, tentang lutut yang bergetar, tentang peluh yang tumbuh dari api di wajah dan dada yang mengobarkan. Dalam setiap episode abu-abu, ada jiwa yang menangis di dada namun terus aku abaikan.
Ketika jiwaku telah begitu sekarat dan mendekati akhir, dunia dan kehidupannya seolah menjawab segalanya. Mereka mengatur berbagai peristiwa agar aku mengambil jalan yang berlainan. Mereka seperti mengatur begitu banyak rantai aksi yang bahkan aku tidak pahami. Kecerdasan yang bagaimana sehingga mampu memprediksi dan membangun aksi untuk mencapai tujuan. Bahkan ketika aku telah berada tepat di tepi jurang yang paling dalam.
Aku menutup mata. Mencoba menyelami gelap dan hampa di dalam jiwa. Bertanya dari hati-ke-hati, tentang jiwa yang terus menangis dan begitu kosong. Tentang suara yang semakin membisu dan telinga yang menjadi tuli. Aku ingin bagaimana? Akhir seperti apa yang aku hendaki? Mimpi apa yang ingin aku jalani.
Selama ini aku seperti daun yang jatuh lantas terseret arus sungai, menuju lautan di antara berjuta cadas dan arus deras. Sampai pada suatu titik, segalanya hanyut, menjadi begitu kecil di tengah luas yang tiada batas. Kehidupanku ini adalah seperti satu titik, yang bahkan nila pun tidak akan mampu merusak susu.