Saya sudah jarang berjalan. Baik berjalan berkeliling. Ataupun ke dalam hati setiap manusia. Entah mulai kapan, saya berhenti. Saya acuh menapak seperti dulu lagi. Terkadang ada setitik kerinduan, namun segera saja gugur oleh waktu yang berjalan cepat. Bahkan dalam sepersekian detik yang lewat.
Saya juga tidak lagi berusaha memetakan manusia. Mempelajari karakter mereka, dan bertindak sebagai sosok yang mereka suka. Saya dulu paling senang jika orang lain berbahagia. Sampai, suatu ketika saya mulai memahami bahwa: manusia itu ingin dipahami tanpa mau memahami.
Dalam setiap tawa, sebenarnya hati saya menyisakan banyak ruang kosong nan hampa. Saya cuma mampu menyadarinya ketika saya sedang sendiri. Saat saya berusaha memanggil mereka yang telah saya buat bahagia, mereka menolak dengan angkuh. Mereka biarkan saya sendiri di dalam ruang yang hitam pekat ini. Saya sakit hati.
“PERLAKUKAN ORANG LAIN SEPERTI KAMU INGIN DIPERLAKUKAN.” — Sudah! Saya sudah melakukan itu. Saya tinggikan mereka. Saya berikan segala yang saya bisa. Tetapi, mereka cuma mau kenikmatannya saja. Setelah saya menjadi sepah, mereka membuang saya tanpa sedikitpun rasa bersalah.
Pada satu titik. Saya menganggap bahwa semua manusia itu sama. Mereka cuma tersenyum padamu jika mereka menginginkan sesuatu. Mereka merengek saat mereka membutuhkan. Mengerang ketika napsu mereka lapar. Dan mereka akan acuh saat semua rasa kenyang telah memenuhi perut mereka. Hampir saja saya menganggap semua manusia seperti itu. Hampir saja.
Dan saya menjadi mulai tidak peduli. Terkutuk dengan semua urusan manusia yang lain. Saya seperti tersihir, dan mulai ditulari. Saya menjadi seperti manusia yang saya benci itu. Dengan mata semerah darah, taring yang menjulang seperti tanduk, keluar dari segala mulut saya. Tanduk yang melingkar-lingkar keluar dari kepala saya. Liur yang terus menetes. Mulut yang penuh bau. Dan badan yang terus berlumpur.
Monster. Saya menjadi monster yang menakutkan. Bahkan segala cermin di kamar telah saya pecahkan. Saya pun tak lagi berani menunduk, terlalu takut untuk melihat bayangan saya sendiri. Hidup ini adalah serupa neraka.
Saya heran. Kenapa manusia yang saya benci itu mampu hidup seperti ini? Dengan segala rupa yang menyerupai Rahwana. Atau mungkin lebih daripada si dasamuka. Saya teramat heran!
Lebih heran lagi. Manusia yang saya benci itu seperti tidak menyadari. Dari mulut mereka yang penuh bau, saya masih bisa mendengarkan suara. Tawa yang tidak henti putusnya.