Kadang aku merasa menjadi lelaki itu tidak menyenangkan. Seorang lelaki tidak dengan bebas memeluk lelaki lain. Tidak seperti wanita, mereka bebas dengan ragam ekspresifnya. Seorang perempuan, memeluk perempuan yang lain, orang tidak akan salah duga. Beda dengan lelaki, mungkin banyak yang akan mencibir, atau bertanya: mungkin lelaki yang sedang berpelukan itu bukanlah seorang lelaki dengan orientasi seksual yang berbeda.
Aku iri dengan wanita. Mereka hidup dalam dunia penuh cinta. Orang tidak akan risih, dengan semua air mata yang tumpah dari mata seorang wanita. Beda dengan lelaki, jika seorang lelaki menangis, banyak orang mengira dia banci.
Ada seorang lelaki yang selalu ingin aku peluk. Tetapi, semakin aku dewasa, aku semakin malu untuk memeluknya. Seperti ada rasa janggal, seorang lelaki memeluk lelaki lainnya. Kadang, aku cuma bisa membayangkan, saat-saat dulu, saat aku dipeluk dari balik punggungnya.
Adalah saat-saat indah, yang tidak pernah ingin aku hapus. Saat jemariku yang tidak seperti manusia wajarnya, digenggamnya, di bawanya hingga aku tidur. Saat aku tersadar, ketika pagi, tangan itu telah tidak ada lagi.
Atau, ketika dagunya menyentuh pipi-pipiku. Waktu itu, aku masih bisa membayangkan, kasar jenggotnya yang menggelitik pipiku, aku tertawa, juga geli. Namun, segala itu dia lakukan dengan penuh cinta, hingga kasarnya jenggot itu tidak turut membuat luka.
Masih juga membayang, mobil-mobilan yang sekarang entah kemana. Mobil-mobilan yang mungkin telah rusak, telah hilang, atau yang telah aku bongkar tanpa mampu kembali aku pasang. Pesawat terbang, robot, pistol bersuara, dan segala macam mainan lainnya. Aku mencoba membayangkan itu semua, saat dia membelinya dengan mengingat aku, segala hal yang dia berikan demi aku mampu tertawa dan bahagia.
Aku rindu. Teramat rindu. Aku ingin memeluk punggungnya namun aku tidak berani.
Pengalaman. Hidup. Waktu. Memang tidak semua berjalan dengan indah. Ada kala saat dia harus mengajariku dengan kekerasan, karena kelembutan telah kehilangan suara. Saat rotan-rotan yang membekas di pahaku, karena aku tidak sembahyang, atau aku bolos sekolah. Aku selalu mendengarkan alasan yang sama, alasan yang berdasarkan cinta, “kami tidak ingin memukulmu, namun yang kami pukul adalah setan yang berada di dalammu.”
Atau ketika aku mulai menyimpan suara, saat kehendakku tidak dipenuhinya, atau saat dia marah besar, dan aku pun sama. Saat itu, aku mengira, hari itu adalah awal kami akan diam untuk selamanya dan tidak lagi saling berbicara, namun ternyata tidak, dia pula yang awal mengajakku berbicara.
Kadang aku pun merasa aneh, saat awal SMU, dia mengajakku ke kedai kopi, dia membahas tentang aku. Dia berbicara, mungkin belum saatnya bagiku untuk mengenal cinta, terlebih dengan seseorang dari agama yang berbeda. Saat itu, aku benar-benar malu, mengapa dia sampai tahu?
Aku juga sering membayangkan, dia yang dulu membangunkan aku di subuh hari, mendudukkan aku di frame sepeda, membawaku berjalan-jalan menikmati udara pagi.
Ayah. Dia selalu memberikan hidupnya yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun, terkadang, perhatiannya yang terlalu protected membuat aku lebih manja dari kebanyakan anak yang lainnya. Dia yang selalu khawatir di awal, apakah aku bisa membawa motor dengan kondisi tanganku yang cacat sebelah?
Bagiku. Sosok yang paling hebat setelah seorang Ibu adalah seorang Ayah. Mereka berdua ada dalam posisi yang sama, mencintaiku dengan setulus hati tanpa mengharapkan kembali. Aku mencintai mereka berdua, ingin rasanya aku memeluk mereka, namun, keangkuhanku sebagai lelaki membuat aku menahan itu semua. Tidak ada sosok lain yang dapat menggantikannya, dia adalah Ayah terhebat yang aku punya.