Seorang lelaki sedang jatuh gila. Kali ini dia bukan lagi jatuh cinta. Namun cinta di atas cinta. Dia telah menjadi gila. Sangat gila. Teramat gila.
“Majnun, kamu!” hardik wanita yang sedang dicintainya itu.
“Sudah lama aku Majnun,” pasrah lelaki. “Kamu aja yang tidak tahu.”
Sudah berabad lamanya lelaki menjadi gila. Gila karena jatuh cinta. Dan cinta itu yang membabat habis edisi waras dari kehidupannya. Dalam hatinya, cuma ada goresan satu nama, yang lain telah pudar terhapus. Cuma nama wanita itu. Nama perempuan itu. Bidadari ketiga.
Mungkin wanita itu akan sangat jijik dengan lelaki itu. Tidak akan ada seorang wanita waras yang akan mencintai seorang lelaki gila, kecuali dia pun gila atau ikut-ikutan gila.
Aku mabuk. Seperti mandi dalam kubangan tuak yang melenakan. Perut-perutku penuh diisi oleh berbagai jenis perangsang saraf yang membuatku tidak lagi mampu tegak berdiri. Kakiku goyah limpung. Berjalan tersuruk, kiri-kanan, tak tentu arah. Pandangan mataku kunang-kunang kabur. Segala tembok, segala jalan, segala hadapan depan, semuanya buram, semuanya berubah, semuanya menjadi wajahnya.
Episode gila belum lagi tamat. Semakin hari, semakin waktu, lelaki menjadi semakin gila.
Apa engkau tahu bagaimana beringin berkisah tentang hidup dan tumbuh. Bagaimana ketika akar-akarnya semakin tua semakin mengerat erat tanah di dalamnya. Aku pun demikian, semakin waktu, pohon yang bernama cinta semakin membesar. Pohon-pohon rindang dengan buah-buah yang berakibat memabukkan, yang jika dimakan akan menyebabkan kegilaan. Buah yang orang-orang kata: cinta.
Aku pernah mendengar kisah tentang Layla-Majnun. Berharap, suatu hari aku yang akan menjadi Layla. Tetapi tidak bisa begitu, ternyata takdir ini mencatat namaku dengan tulisan tebal, kapital, dan hitam pekat. Tulisan itu memenuhi selembar penuh buku takdirku. Satu nama yang sakral: MAJNUN.
Sungguh Tuhan. Akulah Majnun. Akulah si gila.