Seseorang membaca blogku dan mulai berbicara. “Cintamu tidak sedalam cinta yang aku punya.”
Saat itu aku tidak membalas apapun yang hendak dikatakannya. Aku cuma diam, takzim, mendengarkan runut cerita berikutnya.
Engkau mencintai dengan kata-kata, dengan berbicara, dengan berbahasa. Engkau bercerita di mulut keduamu ini, tentang segala hal yang engkau rasa. Pitin-pitin hati yang memilin. Sebuah rasa yang sulit engkau tanggung, membeban di dalam hati lantas engkau tumpahkan di sini. Dan aku sungguh berbeda darimu. Cintaku lebih tulus daripada cintamu. Cinta tanpa kata.
“Cintaku bukan cinta seorang pelangi. Cinta yang indah untuk dilukisi dan dipandangi. Namun cinta itu timbul setelah hujan menderita, mati menjadi air dari gugus-gugus awan yang luruh.
“Apa engkau sanggup mencintai seperti aku? Mencintai seseorang tanpa harus berkata bahwa engkau mencintainya. Mencintai dengan segenap hatimu, bukan cuma oase yang terbit dari bibir-lidahmu. Mampu belajar mencintai bahwa engkau bukanlah seseorang yang dicintai. Mampu teguh berdiri dan mencintai seseorang yang dicintai oleh orang yang engkau cintai. Apakah cintamu sudah mampu sedalam itu?
“Engkau bahkan tidak lebih dari seorang pencemburu. Lebih mementingkan dirimu sendiri dibandingkan tentang rasa cintamu itu. Cinta yang tidak jauh dari sekedar napsu. Ketulusanmu belum lagi teruji.”
Sampai akhir dia berkomentar, aku tetap diam tidak menggubris. Seperti dia, cintaku adalah cinta tanpa kata. Cinta yang tidak perlu aku komentari. Cinta yang tak perlu aku jelaskan mengapa dia datang, mengapa harus harus berbicara dengan kata-kata, atau mengapa aku harus menuliskannya.
Kadang aku bisa sangat bingung, saat seseorang bertanya atas dasar apa dia dicintai. Karena aku mencintainya tidak dengan menggunakan alasan-alasan, namun dari hati.