Kapan kau terakhir menangis? Ketika malam hendak mengejar fajar, disayup cahaya redup yang mulai menerang. Atau ketika pagi mulai menggigit, memanaskan seluruh tapakmu ketika melangkah telanjang. Atau, bolehkah aku mengubah tanya, “masihkah engkau menangis?”
Tidak lagi aku melihat matamu yang basah, kecuali telah menjadi batu. Seperti tandus tanah tanpa hujan bertahun, bertahap menjadi gemuruh pasir. Padahal, aku berharap ada badai di sana, laksana ombak yang tersusun, menggunung dan menggulung.
Aku takut, kau telah melupakan jalan pulang. Telah alpa tentang tujuan kembali. Bahwa kaki yang masih tegak itu seolah tidak akan rubuh dan membaringkanmu tanpa mampu bangkit kembali. Aku takut kau amnesia.
Labirin ini telah menjadikanmu gila. Jutaan reaksi yang pecah dan saling tabrak menjadikanmu tak sadarkan diri. Atau mungkin, tidak cuma gila tetapi kau pun telah buta oleh gelapnya jalan tanpa sandaran jejak yang menuntun. Aku tak tahu, maqam apa yang sedang kau lalui. Atau iblis mana yang sedang ada di sisimu.
Aku seperti melihatmu dari balik punggung. Bahkan ekor mataku tak mampu mengejar kau yang sedang berlari terlalu cepat. Segala tingkahmu tidak lagi mampu aku tafsirkan. Khatam buku mimpi tidak juga mampu membaca tafsiran seluruh apa yang kau perbuat. Lantas, apa maumu?
Tidakkah engkau rindu. Tentang sayup suara yang mengisi kekosongan itu. Cahaya yang memberitakan seluruh jalan. Maka mengapa kau menjadi sedemikian tuli? Mengapa memilih menutup mata? Mengapa jatuh cinta untuk menjadi gila?
Tidakkah ini terlalu melelahkan. Seperti, permainan ini abadi di dalam lingkarannya. Dan kau berputar-putar semacam orang gila. Tidakkah ini memuakkan, terlalu memuakkan, sangat memuakkan. Sampai, aku tak tahu mengapa kau terus memainkannya sambil tertawa terbahak membahana.
Aku merindukan masa lalu. Ketika tangisan kita, seperti gaung yang terpantul, saling sahut-menyahut. Seperti gemuruh yang berdesis, menutupi malam pada heningnya. Tidakkah kau ingin seperti dulu, mega badai yang bergerak tersimpan sempurna cuma di dadamu.