Imanku masih belum sempurna.
Tadi siang, aku tertidur setelah membaca “Rahasia Selma” karya Linda Christanty sambil tiduran, mataku menutup. Dari ketika khutbah Ied Adha, aku sudah mengantuk. Setelah pulang, makan sebentar sembari menonton film Doraemon, selepas itu aku naik ke atas. Bosan, aku mengalihkan diri membaca. Ketika membaca itulah aku tertidur. Aku ingat, bab yang kubaca ketika itu adalah Mercusuar.
Ketika aku terlelap itu, ternyata sayup azan Zuhur berkumandang. Aku bisa mendengarkan dengan jelas bunyi suara azan, namun aku lebih memilih tetap tidur. Terlebih, saat itu hujan lebat sekali di luar. Aku semakin meringkuk, dingin, menina-bobokan diriku semakin dalam. Ada dua alasan yang aku coba-coba reka, pertama kantukku, kedua hujan saat itu.
Imanku belum lagi sempurna.
Semalam juga demikian. Aku merasa sangat lelah ketika azan Isya hadir di gendang telingaku. Aku lebih memilih merebahkan diri di kasur daripada merangkak menuju mesjid. Aku shalat di rumah, padahal aku lelaki.
Tadi, selepas Zuhur aku mencoba menghitung-hitung diriku. Ternyata memang jauh, dan begitu terjal jalan mencapai ketaatan. Aku merasa begitu munafik. Sangat munafik.
Apakah kamu tahu bagaimana cara menilai orang munafik di sekelilingmu? Lihatlah kehadiran Subuh dan Isya dia di mesjid. Jika dia tidak hadir, kemungkinan dia telah menjadi satu bagian dengan kemunafikan. Karena shalat Subuh dan Isya di mesjid bagi orang-orang munafik teramat berat.
Dan sekarang, aku sedang merencanakan suatu kejahatan. Aku tahu Allah tahu. Karena itu, aku malu. Malu sekali.