
Awalnya aku biasa saja. Tidak peduli sama sekali. Sampai kemudian, dudukku berpindah di samping lelaki itu. Dia mengangkat handphonenya, mendekatkan ke telinga, sambil mengetikkan beberapa huruf di keyboard handphone yang aku duga Nokia E63 atau sejenis BlackBerry Gemini. Agak aneh, pikirku saat itu. Bukan sesuatu yang biasa manusia normal lakukan, sampai kemudian aku melihat arah matanya, ternyata dia menatap dengan pandangan kosong. Lelaki itu buta.
Tiba-tiba saja, seorang ibu berteriak “kiri” memberi sinyal untuk turun. Tetapi angkot itu lambat reaksi. Berkali-kali sang ibu berteriak, “aduh udah terlalu ke depan ini“, sampai akhirnya angkot itu berhenti juga. Ternyata, ibu tersebut memberi sinyal untuk lelaki yang duduk tepat di sampingku ini.
“Aduh, kasihan ini terlalu ke depan.” dengan wajah pias, sang ibu bersungut.
Lelaki di sampingku mulai turun, dengan kepayahan. Jarak antara angkot dengan jalan yang hendak ditujunya terlalu jauh. Harus menyeberang melewati berbagai kendaraan yang datang silih berganti. Sebagian acuh tak ingin berhenti. Terlalu egois untuk sejenak reda dalam aktivitas, memberikan jalan seorang buta yang hendak menyeberang.
Angkot itu masih berhenti. Aku memandang dari kejauhan. Lelaki itu masih kepayahan hendak menyeberang.
Perasaan yang sama seperti ketika aku melihat seorang wanita dipukuli oleh lelakinya di pinggir jalan kembali datang. Lagi-lagi kakiku berat untuk melangkah. Tetapi, aku tak ingin penyesalan yang selalu hadir di belakang. Aku paksakan agar kaki ini berjalan, menuju lelaki yang terus aku perhatikan dari jauh tadi.
Sekarang lelaki itu ada di sampingku. Aku genggam lengannya. “Mari menyeberang,” aku buka suara. Dan sebelum kaki kami melangkah seirama, dia terawal mengucapkan, “terima kasih“.
Kami berjalan tidak terlalu lama. Sampai kemudian, setelah kita sampai di lorong yang hendak menuju jalan yang ditujunya, dia memberhentikan. “Biar saya lanjutkan sendiri, jalan di dalam masih jauh, saya sudah terbiasa,” dia memaksa.
Aku mulai melepaskan genggaman. Memberinya kebebasan untuk melangkah seperti yang hendak dilakukan. Aku masih memandangnya dari kejauhan. Lelaki itu meraba jalan dengan tongkat yang mampu dilipat tiga yang dibawanya. Terkadang, kakinya masuk ke dalam kubang, kadang langkahnya terhalang mobil yang ada di depan. Sampai akhirnya lelaki itu menghilang.
Tuhan, sungguh tidak ada nikmatMu yang mampu kami dustakan.
Aku melihat seluruh proses hidupku. Betapa banyak kekecewakan yang aku serahkan kepada Tuhan, namun lelaki itu, tidak ada kekecewakan yang hadir dari sinar wajahnya. Betapa aku sering sekali mengeluh, padahal mungkin jauh lebih banyak orang lain yang kepayahan, namun hampir tidak ada keluhan yang mengalir dari bibir basah mereka.
Sampai pada suatu titik, aku merasa lelaki itu beruntung, terhadap takdir Tuhan yang hadir dalam hidupnya. Sedangkan aku, dengan mata yang masih mampu melihat, tidak banyak kebaikan yang hadir dari keduanya kecuali keburukan-keburukan. Dan jika nanti aku dihadapkan kepada Tuhan, betapa berat hisapku atas mata ini, yang jarang sekali melakukan sesuatu yang Dia ridhai.
Tiba-tiba temanku Faza telepon, bertanya aku sedang di mana. Memintaku menunggu di dekat situ untuk dijemputnya. Di atas motor Faza, pikiranku kembali ke lelaki itu. Di akhir pertemuan, kita berkenalan. Namaku Baiquni dan dia Zuhud.