
Sabtu, 28 Februari 2015. Ketika berjalan hendak ke kampus, saat itu aku melihat seorang anak manusia berjenis perempuan melewatiku. Dari kedua matanya ada riak air yang belum lagi habis terselesaikan. Bibirnya telah pecah. Darah banjir diantaranya. Entah, mungkin oleh sentuhan kelewat keras yang mengisi hari-harinya. Di sisinya, ada seorang lelaki yang sebaya dengannya, berjalan dengan wajah tegang.
Mereka berjalan cepat. Bahkan sekarang telah melewati punggungku. Kepalaku berpaling, menoleh ke belakang, dari kedua mulut mereka kembali muncul serapah. Aku memejamkan mata sejenak. Berdoa kepada Tuhan untuk mendamaikan mereka berdua.
Ingin rasanya aku berlari menuju keduanya, bercerita bahwa cinta jauh lebih indah daripada bergumulan yang menciptakan darah. Memisahkan mereka yang sedang dimainkan oleh setan, yang mengalir melewati darah. Memisahkan mereka yang sedang membenci satu sama lainnya. Tapi aku tak bisa! Yang entah bagaimana, langkahku seperti tidak menurut dengan apa yang hatiku titahkan. Dia terus berjalan menjauhi keduanya, membiarkan mereka meneruskan episode drama kehidupannya, dan aku menikmati hidupku sendiri, yang jauh dari masalah.
Aku lihat, perempuan itu memegang sebuah kayu. Memukul lelaki itu. Dan sang lelaki yang telah dipenuhi amarah, membalas dengan tangan yang terkepal. Tepat mengenai wajah sang hawa. Dari keduanya, aku melihat cinta sedang dibenamkan. Tak ada getaran sayang. Masing-masing dari mereka ingin usai. Masing-masing dari mereka pula tidak puas dan ingin terus bergelut.
Mungkin benar, bahwa kita telah menjadi lebih buruk daripada hewan. Memakan cinta kemudian meninggalkan bangkai. Menangisi masa depan yang tidak mampu digapai, karena ikatan lampau yang begitu kuat. Menjadi budak-budak dari masa, yang terus bergelut dalam episode drama.
Manusia, mereka terlalu sering bersungut. Saat memejam, mereka memikirkan orang lain. Untuk setiap jengkal derita, untuk setiap jalan hidup yang rusak. Terus saja kita berbicara tentang mereka, lantas abai pada diri sendiri. Bahwa sesungguhnya, jalan hidup yang kita jejak lalui, adalah apa yang kita bangun.
Lelaki dan perempuan yang aku temui itu telah menghilang. Di balik belokan di belakang punggungku. Dan mereka pun mungkin juga sama. Saling menyalahkan apa yang seharusnya menjadi dosa pribadi. Namun, terlalu sulit untuk jujur pada diri sendiri.
Sesungguhnya, engkau memetik apa yang engkau tanam.