
Pernah suatu ketika aku melihat seorang anak dengan hobi yang aneh: memungut kerikil. Karena tidak tahu dengan apa yang dikerjakannya, aku cuma berjongkok heran memperhatikan. Anak itu terus memilah, satu batu diambilnya, diperhatikan, lantas dibuang, batu yang lain pun demikian, sampai kemudian dia menemukan satu batu untuk disimpan.
Dasar anak-anak! Batu yang disimpan segera dibawanya pulang. Dan dalam perjalanan, ada raut kebahagiaan di wajahnya. Senyumnya mengambang. Terus berseri seiring langkahnya surut pulang.
Apalah arti sebuah kerikil, pikirku berhari kemudian. Namun, senyum semringah sang anak yang bahagia, sulit untuk aku lupakan. Sampai aku berkesimpulan: untuk bahagia, tidak perlu sesuatu yang wah. Cukuplah sesuatu yang sederhana untuk disyukuri.
Mengapa kita sering bersedih? Mengapa kita merasa bahwa dunia adalah kumpulan, irisan dari himpunan segala ketidakadilan dan ketidakbahagiaan. Bahkan, terkadang kita terus menguraikan segala alasan yang berujung kepada segala penderitaan kita. Sampai, pada satu titik, kita mulai menjadi mereka yang sering menyalahkan.
Tangan kita menunjuk si A adalah sumber penderitaan. Tak puas, kemudian kita menunjuk si B, si C, dan seterusnya. Bahkan setelah seluruh jemari telah habis menunjuk, tak luput kita membentangkan kertas dan mulai menuliskan nama-nama segala asal dari ketidakpuasan.
Bahwa bahagia sesungguhnya adalah apa yang hadir di dalam hati. Satu masalah, bisa saja menjadi sumber penderitaan, namun bukan berarti bahwa itu tidak bisa menjadi sumber kebahagiaan.
Bukankah kita sendiri yang menentukan jalan hidup yang akan kita jalani. Kita yang memilih untuk setiap langkah ke depan. Kita memilih, apakah ingin bahagia atau terus menangisi kehidupan. Kita pula yang memilih, ingin terus berjalan atau cukup untuk berhenti sampai di sini saja.
Untuk setiap langkah yang salah, yang berimplikasi kegundahan, maka berbahagialah. Bisa jadi itu adalah cara Tuhan mengajari kita dengan perantara pengalaman. Semoga tidak terulang kesalahan yang sama di kemudian hari yang boleh jadi akan teramat sangat kita sesali.
Kehidupan memang tidak memiliki jalan mundur ke belakang. Namun, berbahagialah karena Tuhan telah memberikan kita pikiran untuk belajar, baik dari segala kehidupan atau pun berbagai pengalaman. Oleh dirimu sendiri atau yang telah orang lain rasakan.
Kesedihan itu memang pasti akan selalu kita rasakan. Meratapi kesedihan berterusan, itu yang sebaiknya dihindarkan. Biarlah segala pilu yang mendera menjadi seperti air yang tak terbendung, mengalir dengan indah menuju lautan pemahaman.
Pikiranku kembali menuju anak tadi yang mulai berlari saat menuju pulang. Di tengah perjalanan, kakinya tersandung. Dari meringis kemudian meledak menjadi tangisan. Lututnya yang berdebu ditekuknya, ada darah yang mengalir dari kulit yang teriris. Kemudian seorang pria dewasa mulai mendekati sang anak. Menyapukan abu yang mengotori lutut, memberikan kecupan pada kening dan kemudian membelainya.
Pria dewasa itu lantas mulai menggendong sang anak. Dia tersenyum bahagia. Tetapi, saat hendak beranjak pergi, anak itu menahan sang pria dewasa. Menunjuk kepada beberapa kerikil jatuh yang tadi telah dipilihnya. Meminta memungut kerikil tersebut untuk disimpan. Aku kembali terheran, apa pentingnya kerikil-kerikil itu? Sampai kemudian aku berkesimpulan: bahwa sepahit apapun hidup, tidaklah baik untuk dilupakan.