
Masih ingatkah engkau, saat kita menghitung bilangan tahun. Dan sekarang, hanya menghitung bulan. Lantas kemudian hari, dan di ujung ada haru yang akan tumpah untuk setiap detik penantian.
Tapi, aku tak tahu apa yang menjadikan diam sebagai dinding. Apakah mungkin relief-relief yang kita ukirkan pada tembok-tembok ratapan membuat kita jemu. Atau, karena sibuknya kita mengalihkan segala sesuatu yang berujung rindu. Mencoba menekan sampai ke dalam sumsum tulang. Sampai-sampai, bahkan angin pun tak akan tahu.
Hatta, berminggu-minggu penantian aku rasakan bagai bilangan abad. Yang tidak mampu kuhitung kapan akan menciut menjadi tahun. Dan saat engkau mengabarkan kedatangan, maka sepenuh itu aku menjadi cemas. Apakah rupaku yang dulu kau lihat, masih tetap sama engkau cintai. Karena aku takut, elok rupa pria akan memalingkanmu dari dunia.
Lihatlah olehmu, dengan mata yang ada di kepalamu, tentang ringkihnya tubuhku semakin menjadi. Tentang uban-uban yang semakin lebat bersemai di kepalaku. Tentang mata yang semakin letih dan menjadi sendu. Dan urat-urat yang hadir menonjol di antara lenganku.
Mukaku semakin hitam, akibat janji-janji yang tidak mampu aku tunai. Seperti semakin banyak lumpur yang mengotori wajahku. Dan kedua tanganku pun sekarang telah begitu buruk, menjadi sesuatu yang tak mungkin lagi untuk dipegang. Maka karenanya, aku sediakan tali sabut yang melingkari leherku, agar bisa kau tarik tanpa harus menggenggam jemari, agar tak kotor tanganmu oleh tanganku.
Kapan lagi kita bisa bercerita di bawah terik purnama. Saat langit seluruhnya hitam. Bahkan bintang tertutup awan.
Ingatkah engkau. Bahwa dulu jarak tidaklah menjadi pemisah. Saat kita saling terkait oleh langit biru yang sama. Saat kau menyusuri jalanan, kepalamu mendongkak ke atas, dan kau percaya, saat itu pun aku sedang menatap langit yang sama. Langit yang tak berbingkai. Langit yang tak memilah. Tak memisahkan.
Atau tentang sepuluh jari yang engkau ungkap ke atas. Tentang doa-doa yang saling kita rahasiakan. Karena kita percaya, doa yang tersembunyi adalah doa yang paling cepat didengarkan oleh Tuhan.
Entah bagaimana dan mengapa, seluruh episode itu seperti mengabur dan mulai menghilang. Siulan-siulan burung tidak lagi sericuh dulu. Kita seperti mulai hidup dalam kota. Tentang manusia dengan rumah yang berpagar tinggi, dan tidak memahami manusia bahkan di rumah sebelahnya. Terkadang, aku merindukan dulu, saat hidup kita adalah hutan yang riuh. Tentang kerajaan hewan dan segala imajinasinya. Hidup yang seindah tutul pada macan.
Mungkin yang kita butuhkan saat ini adalah duduk saling berhadapan. Masing-masing saling diam. Lantas kita ceritakan seluruh episode yang kita lalui hari ini dan apa yang akan kita rencanakan esok. Tentang perjalanan yang kita lewatkan tanpa kehadiran sesama kita. Tentang hari-hari yang kita habiskan. Tapi, semua itu kita ceritakan dalam diam. Tak perlu berkata-kata, karena yang kita butuhkan sekarang bukanlah bahasa, tetapi tentang hati yang berbicara.