Laskar Patah Hati

Lama aku tak menulis cerita cinta. Kadang, menurut pendapat beberapa orang yang membaca blog ini, jika aku telah menulis cerita cinta, entah itu kesedihan atau apalah, mereka merasa terhanyut dan seperti merasakan apa yang aku rasakan.

Kalau kulihat, tulisanku jarang melakukan ekspolarasi bahasa dan bahkan terlalu verbal. Aku mendikte perasaanku kepada para pembaca, memaksa mereka merasakan apa yang kurasakan dan tidak membuat mereka hanyut dalam lambaian kata-kata. Tapi entahlah, toh yang mampu menilai secara universal adalah pembaca.

Laskar patah hati.

Percaya atau tidak, banyak di dunia ini lelaki yang menjadi prajurit kalah perang. Mereka adalah lelaki-lelaki yang tertusuk hatinya lantas patah. Asa mereka menggelepar. Hati mereka hancur berkeping. Lutut mereka bergetar. Mata menangis. Mereka patah hati.

Aku pernah menjadi bagian dari mereka dan bahkan hampir selalu. Untuk urusan cinta, aku memang selalu kalah, sampai saat ini. Kalau ibarat, aku ini seperti keledai dengan kelamin jantan. Sosok yang selalu jatuh pada lubang yang sama. Lubang itu bernama cinta.

Meraba-raba, aku tahu kelemahanku mengapa hampir selalu aku harus kalah oleh cinta. Aku tak pernah berani dengan perempuan-perempuan yang kusukai. Jika aku telah jatuh cinta, aku akan berdebar, lantas mukaku akan memerah, dan menjadi salah tingkah. Debar membuat lututku bergetar, dan sendi-sendi serasa copot. Kata menjadi kaku, karena lidah ini telah kelu.

Aku pertama jatuh cinta pada seorang amoy, sebuah sebutan untuk seorang gadis Tionghoa. Itu terjadi pada awal-awal SMU ku, dari kelas 1 hingga tamat. Bahkan cinta kedua pun terjadi karena aku merasa melihat sosok MRN di dalamnya. Cinta keduaku ini aku sebut: Sang Puteri.

Baik dengan MRN, maupun Sang Puteri, aku pupus.

Kalau diingat lucu. Waktu aku SMU, ketika berpapasan dengan MRN, aku selalu menunduk dan berjalan cepat agar segera berakhir bertemu dengannya, namun saat tidak ketemu ingin ku bertemu. Aku bingung, dengan rasa panas dimukaku ini disertai jantung yang berdebar. Aku malu jika aku jatuh cinta.

Sang Puteri juga demikian. Jika bertemu dengannya, aku selalu menunduk, tak berani memandang wajahnya. Tidak tahu, kekuatan apa yang mendorongku. Aku tak pernah mampu binal seperti lelaki pada umumnya. Kadang kuberi alasan: inilah bentuk penghormatanku kepada wanita.

Lantas, aku bertemu dengan Taman Surga.

Takut akan terulang, akhirnya aku coba untuk berkata cinta. Dia adalah seseorang pertama yang kukatakan cinta dan seseorang yang hingga saat ini masih terngiang dikepalaku. Entah mengapa, ingin sekali lupa kepadanya namun aku tak sanggup.

Kau tahu? Beberapa wanita yang kusuka saat ini juga seperti layaknya Sang Puteri yang kupuja karena kemiripannya dengan MRN. Begitu juga, beberapa wanita yang kusuka saat ini karena kemiripannya dengan Taman Surga. Aku sendiri tak mengerti mengapa.

Jika kupikir, aku memang lelaki bodoh. Ketika telah datang cinta, malah semua itu tersia.

Lantas bidadari muncul.

Kupikir, persoalan tentang cinta tak akan pernah ada habisnya. Daripada mengejar sesuatu karena sisi kemanusiaan, mengapa tak mengejar melalui sisi ketuhanan. Aku pun mulai banting setir. Aku mencari sosok yang mampu mendekatkan aku dengan Tuhanku.

Kau tahu teman, mengapa mereka kupanggil bidadari?

Bagiku, bidadari adalah seseorang yang belum pernah disentuh oleh lelaki sebelumnya. Mereka adalah orang-orang yang menjaga hati, jiwa, dan raga khusus untuk suami mereka kelak. Demikianlah orang-orang yang kusebut bidadari.

Awalnya kukira bidadari itu tak pernah ada di dunia. Ternyata aku salah. Bidadari itu ada teman, sangat nyata.

Mungkin hati mereka pernah jatuh cinta selain kepada suami mereka kelak, namun mereka akan tetap menjaga hati itu bersih. Mereka akan mencoba bertahan dengan fitrah mereka, dan tak akan pernah menjual jiwa mereka kepada nafsu.

Bidadari juga manusia teman, terkadang mereka tergoda dan tergelincir.

Dalam sebuah pernikahan, cita-citaku adalah menikahi seorang bidadari. Setiap lelaki pasti menginginkan seorang bidadari. Bukan seseorang yang berstatus gadis namun sejatinya telah janda. Demikianlah hakiki seorang lelaki.

Dan pada suatu titik, aku kembali mencoba mencari. Sekarang, bukan hanya bidadari, aku mencari wanita sederhana.

Dulu, orang menyebutnya dengan zuhud, tetapi sekarang aku menyebutnya dengan sederhana. Perempuan yang terlahir dengan cara sederhana, bertindak sederhana, dan menginginkan hal yang sederhana.

Kau tahu teman? Aku muak dengan wanita-wanita yang begitu silau dengan kemewahan, dengan wajah tampan, dan dengan kedudukan. Kau lihat sekelilingmu, beberapa wanita menjadi budak dari besi-besi yang ditempa lantas dihargai tinggi oleh manusia. Beberapa lagi diikat leher-lehernya oleh kertas-kertas yang disepakati sebagai alat pertukaran yang sah dalam suatu negeri. Aku tidak suka mereka.

Kau tahu teman? Aku pun tak menyukai wanita-wanita yang begitu tergila-gila dengan badan langsing dan putih. Mereka merasa hina jika dikatakan gendut atau buruk. Mereka itu menyembah thagdut. Ragai menjadi illah mereka. Aku tidak suka.

Wanita sederhana. Akankah dicatatan takdirku seorang wanita sederhana akan hadir mendampingiku? Atau takdir menitahkan, Laskar Patah Hati akan menjadi jalan hidupku.