Catatan Kaki

Aku masih memantau. Ternyata dia masih melihat blogku saban hari. Hampir setiap hari.

Beberapa waktu yang lalu, sebelum keputusan besar aku ambil, aku berkonsultasi dengan No. 34 tentang masalahku itu, apa aku harus memblock dia agar tidak membaca catatan-catatan kakiku ini lagi. Bukankah dia bertekad hendak lupa dengan eksistensiku.

Kata No. 34, TIDAK USAH. Keputusanku meremove facebooknya sudah benar karena terkadang kita tidak bisa mengendalikan aliran pesan, status, dan komentar yang tercetak di beranda kita. Namun kalau soal mengunjungi blog ini, itu adalah keputusan mandirinya.

Bagiku, benar juga apa yang telah diucapkan oleh No. 34, bahwa mungkin dia sesekali ingin melihat beberapa catatan kakiku. Dan ketika dia membuka halaman demi halaman ini setiap hari, jujur, aku senang. Tetapi, bagaimana dengan dia?

Bagiku sendiri, aku tidak masalah dengan persoalan cinta atau hati. Karena itu bukanlah bagian dari zina hati menurutku. Mencintai adalah fitrah, entah itu lintasan hati.

Ingatkah engkau cerita tentang Hafsah ketika menjadi janda? Umar menawarkan anaknya itu kepada Abu Bakar, namun beliau menolak. Umar menawarkan kepada Ali, beliau pun menolak. Hingga akhirnya Hafsah menikah dengan Rasulullah. Mengapa mereka menolak? Karena Rasul pernah menyebut-nyebut tentang Hafsah. Itu adalah bagian dari lintasan hati, sebuah fitrah yang Allah menjadikannya indah. Sangat berbeda dengan zina hati.

Tetapi apa yang bagiku tidak masalah akan menjadi bermasalah dengan orang lain. Pemahaman dan ilmu setiap orang sangatlah berbeda. Aku dengan kadar ilmu yang demikian minim mungkin tidaklah masalah. Aku bukan orang yang berhati-hati.

Namun, ada satu ketakutan dalam diriku. Jikalah apa yang telah kami lakukan ini adalah benar? Bukankah ini seperti memutuskan silaturrahmi? Bukankah memutuskan silaturrahmi itu NERAKA!

Ingatkah engkau sebuah hadist tentang zina? Bahwa anak Adam tiada akan pernah lepas dari zina: zina mata, zina tangan, zina hati, zina perbuatan, namun semuanya itu akan di-iya-kan dengan kemaluan.

Zina hatikah kita? Atau ini cuma lintasan hati. Lantas mengapa dengan orang lain kita masih mampu tertawa, dengan lawan jenis masih sering cekikikan, dan kita tidak merasa salah. Apakah semua karena hati? Atau karena kesemuan yang kita anggap bagian dari zina hati?

Kemarin malam, aku bertanya persoalan yang sama kepada seorang lelaki yang sudah kuanggap abang. Aku yang nan tak pernah serius bertanya dengan setulus hati. Hatiku mencoba mencari-cari jawaban, persoalan apa sebenarnya yang sedang membelenggu diriku.

Sudahkah ini berjalan dengan ketetapan yang hak atau cuma sekedar pemuas keinginan bahwa inilah anggapan kita yang benar. Aku masih belum paham. Teramat sedikit ilmu yang aku miliki tentang itu.

Sangat besar inginku membantu dia. Entah mungkin harus dengan menghilangkan eksistensiku di dalam selaput memorinya. Kadang aku ingin memblock dia agar tidak lagi mengunjungi diriku ini, karena itu berarti tidak akan menyembuhkan dirinya dari mengeja namaku. Tetapi ada satu ketakutan besar: AKU TAKUT BAHWA INI ADALAH KESALAHAN, BAHWA ITU ADALAH JALAN DALAM MEMUTUSKAN SILATURRAHMI.

Dulu kita biasa. Sama seperti dirimu dengan teman-temanmu dari jenis kelamin yang berbeda dan aku juga demikian di sini. Bukankah kita sering tertawa? Namun semua harus tersingkir cuma karena ada satu keterkaitan yang membuat aku menjadi demam mendengar namamu diucap dan engkau menjadi linglung ketika namaku ditinggikan.

Ketika menulis ini, aku bingung. Aku bingung dengan pilihan-pilihan jawaban. Maka, inginku memblockmu membaca pesan-pesanku kutangguhkan. Bukan berarti aku tidak ingin membantumu melupakan eksistensiku, namun lebih kepada, adalah keputusanmu pergi-atau-tidak dari bilik ini.

Semoga mampu direnungi. Catatan kaki.