Tak perlu berbicara dengan puisi, aku cuma ingin curhat!
Huff, rasa gundah ini begitu menggunung bahkan aku semakin tidak mengerti tentang aku. Kali ini aku ingin membicarakan sosok lain selain puteri. Memang aku selalu menyembunyikannya, namun jenuh dengan semua rasa yang tergolak oleh sang puteri membuatku mencari sesuatu diluar dia.
Dia sama seperti sang puteri, sama-sama wanita. Namun ada yang berbeda, dia tidak acuh seperti sang puteri, dan tak seberapa angkuh. Namun sama seperti sang puteri, aku sadar pupus adalah pilihan untuk kisah ini juga. Aku memang lelaki sepenggal harap, lelaki yang selalu tertolak. Mungkin sudah menjadi my destiny kalee 🙂
Nama? Sudahlah, sama seperti sang puteri aku rasa aku tak perlu menyebut namanya. Kita sebut saja ”dia” dengan tanda petik tentunya. ”Dia” selalu mengejekku ”Beni, ceweknya banyak banget” padahal sejatinya dalam hidupku cuma ada 3 wanita yang kucintai sebagai wanita, satu cinta pertamaku, kedua sang puteri, dan ketiga adalah ”dia”.
”Dia” itu aneh, selalu menolak pria-pria yang mencintainya dengan tulus, namun selalu berkata ”Beni, saya pengen ada cowok yang mencintai saya dengan tulus.”
Memang cintaku kepadanya tidak semenggebu seperti kepada sang-puteri, mungkin karena aku jarang bertemu ”dia”. ”Dia” kira cuma ”dia” yang tahu tentang aku, padahal sebelum awal mula chatting itu (kami berkenalan lewat chatting), aku sudah lebih dahulu mengetahuinya, lebih dahulu tertarik kepadanya, namun baru berani coba berkenalan dengannya lewat mirc.
Awalnya aku kira susah berkenalan dengannya, namun ternyata tidak. Dibalik kelihatannya yang sok serius, ternyata ”dia” jenaka juga. Dan aku merasa semakin mencintai ”dia” setelah aku mendengar kisah kehidupannya.
Memang aku suka wanita yang tangguh, wanita yang survive dengan kehidupannya. Wanita yang berdiri tegak terhadap diri mereka sendiri, mandiri, dan tidak bergantung. Tetapi mendengar seorang wanita mengoceh tentang betapa hidup ini harus dijalani dengan kesabaran membuatku semakin mencintainya. Ingin ku kembangkan tangan ini lalu berkatanya, ”kemari… ayo kemari masukkan ke dalam dekapan tanganku dan tak akan ada yang menyakitimu. Masuklah ke tangan sang yang abadi dalam sebuah cinta tanpa batas dan tak akan menyakiti. Karena aku adalah manifestase pengorbanan untuk sang pecinta, bukan untuk yang dicinta.”
Ahh… sudahlah. Tak perlu berpuisi dengan kehidupan karena sesungguhnya kehidupan ini adalah manifestasi puisi Tuhan. Tuhan tidak sedang bermain-main saat menciptakan ini, dia sedang berpuisi dengan puisi yang tak akan tertandingi.
Kembali ke ”dia”, aku cuma ingin curhat bahwa aku memang tak akan pernah mengerti siapa aku. Salahkah aku jika mencintai 2 wanita dalam waktu yang sama? Salahkah? Kalau memang demikian, kutuk saja aku dengan kutukan terburuk yang memang mampu kau lakukan. KUTUK!
Saat aku berkata aku ingin menikahinya, aku tidak sedang bercanda. Aku serius. Namun aku masih tetap berharap bahwa aku mampu menikahi sang puteri. Aku memang tak akan mampu memilih, memang cintaku kepada sang puteri begitu hebatnya. Aku memang pengecut. Aku memang pria terkutuk.
Sebuah curhatan hati: Eksistensi Tentang ”dia”.