Baru saja aku berpikir tentang hidup yang seperti untaian benang. Namun, saat berikutnya aku malah berpikir, alih-alih seperti untaian benang, hidup lebih seperti jaring laba-laba. Satu getaran terbentuk, seluruh jaring ikut merasakan. Begitulah cara saat laba-laba mengetahui ada mangsa yang hinggap. Demikian pun kita, hanya saja, terkadang manusia alpa dengan banyaknya jaring yang saling mengikat, mengisi, dan berbagi. Terkecuali mereka yang peka.
Dulu, aku pernah bingung. Membuatku berpikir dengan keras, bagaimana bisa, nun jauh di sana seseorang bisa menjadi temanku bahkan menjadi sangat akrab. Aku runut, ternyata, ada banyak tindakan kita berimplikasi terhadap masa depan.
Hidup ini sesungguhnya hidup. Dia tidak mati. Dia berdenyut, ikut merasakan apa yang terjadi dalam kehidupan. Syahdan, saat kita ikut berdenyut, kehidupanlah yang sesungguhnya berdenyut. Kita, hanya seperti pion, di mana kehidupan mengambil perannya, menggerakkan kita, lantas menuntaskannya.
Karenanya, belum tentu hal yang dekat dengan kita akan dekat selamanya, dan yang jauh akan terus menjauh. Pengalaman mengajarkan aku, bahkan teman dekat bisa menjadi sangat dingin dan begitu jauh. Kerinduan-kerinduan harus dikubur dalam-dalam, kebisuan hadir saat tidak ada yang berani untuk mengajukan satu tanya dan menjawab seluruh tanya.
Begitu pula, hidup hadir dan menggerakkan kita namun yang terjadi adalah rasa malas hadir sehingga jalan takdir lain yang hadir. Aku membayangkan takdir itu seperti jalan-jalan dengan banyak ruas. Untuk setiap tindakan telah ada jalan yang terbentuk. Manusia cuma merasa bebas dengan segala kehendaknya, tetapi sejatinya hiduplah yang menuntun. Manusia-manusia adalah sosok-sosok yang buta, dan takdir adalah tongkat dan penuntun dalam kehidupan.
Membaca buku manusia seperti membaca kitab sejarah, namun dengan urutan yang terbalik.