Aku sedang duduk di depan kantin Salman. Seorang nenek bongkok sedang tertatih berjalan. Dengan memelas dan lirih dia mendatangi seorang demi seorang, tidak mengemis melainkan menjajakan jualan yang ada di kreseknya. Tetapi, setiap orang yang didatanginya cuma menggeleng. Abai dengan apa yang terjadi. Atau, seperti aku, pura-pura untuk tidak peduli.
Orang-orang menjadi apatis. Dan aku tidak mengerti darimana sumber segala sikap ketidakacuhan mereka itu. Sama seperti aku tidak mengerti diriku sendiri. Padahal, wajah-wajah yang aku lihat di sini, adalah wajah penuh kesalehan. Wajah yang seumpama purnama di malam gelap tanpa bintang. Dan perempuan-perempuan pun, mereka adalah bentuk keindahan. Hanya saja…
Nenek yang berjalan tertatih itu sudah menghilang. Tidak lagi aku melihat bayangannya, tidak pula harum seluruh porinya. Bahkan tidak ada bayangan apapun yang melekat di ingatan semua orang. Menghilang sempurna.
Sekarang aku melihat seorang kakek tua dengan kantong besar di pundaknya. Sedang bersandar di dinding, mengaduk tong sampah di sampingnya. Orang-orang kembali tidak peduli, bahkan saat aku melihat ke masing-masing mata, tidak ada lirikan yang mengarah kepadanya. Segalanya sempurna! Kakek itu adalah ketiadaan.
Aku kembali heran. Apakah manusia masih disebut manusia dengan seluruh keapatisannya.
Sama seperti aku heran, ketika orang-orang berjalan dengan tertawa, tersenyum, terkadang terbahak dengan puas padahal di sampingnya ada seseorang yang sedang terluka. Atau tentang mereka yang berteriak garang, menyalakan telunjuk ke semua orang atas setiap dosa yang sebenarnya menjadi miliknya.
Aku semakin tidak mengerti dengan manusia.
Terbuat dari apakah mereka? Tanah liat yang dibentuk, tanah berair yang berarti kelembutan. Ataukah terbuat dari batu, atau sesuatu yang lebih keras daripada itu.