Beberapa waktu yang lalu, aku bertemu dengan bapak itu. Saat baru kembali dari Rancabolang untuk mengantarkan buku hadiah bersama Ilham, temanku. Waktu itu kami telah terlambat sampai di Salman, jam telah menunjukkan pukul 16.38 WIB, terburu aku segera menuju tempat wudu untuk segera menunaikan salat Ashar. Aku melihat bapak itu setelah selesai wudu, dia bersama dengan seseorang yang mungkin istrinya, sedang mencoba memetakan arah dari tongkat yang ada di lengannya.
Aku bertanya, apa dia juga hendak berwudu?
Ketika dia meng-iya-kan, aku pun jeda untuk menunggunya sampai selesai. Berpikir untuk menuntunnya naik ke lantai Salman. Bahkan saat dia hendak shalat, dia bertanya soal kiblat. — Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban
Aku pun menutup mata. Berpikir betapa melelahkan ketika kita menjadi buta. Bingung soal arah. Hidup dalam episode gelap tanpa cahaya. Tidak melihat tentang warna, cahaya, dan seluruh rupa. Dan betapa beruntungnya aku, menjadi saksi untuk setiap babak di mana putih menjadi segala warna.
Namun aku salah. Aku tidaklah beruntung. Bahkan tidak seberuntung bapak itu. Di mana matanya tidak akan dimintai pertanggungjawaban untuk setiap cahaya yang diizinkan masuk menetap dalam setiap sel retina. Ada banyak tanya-jawab, soal aku menjadi saksi dari mata yang melihat namun tidak bertindak. Atau tentang lumpur yang hidup di setiap mata. Aku tidaklah seberuntung bapak itu.
Dan tentang kita, manusia. Kita yang tidak buta mata, namun hatilah yang buta. Hati yang tidak hidup, sekeras karang, dan sering sekali menjadi penentang. Hati yang tidak mampu menjadi hulu untuk sungai yang mengalir dari mata-mata yang memohon maaf untuk segala dosa.
Aku menunggu bapak itu setelah salat sebelum kemudian pamit. Dia yang buta tetapi tetap mencari mesjid, sedangkan kita yang mampu melihat jalan namun tidak pernah menemukan. Kita yang melihat mereka yang lapar namun tidak berpikir untuk memberi makan. Kita melihat mereka yang terluka namun tidak terbersit menyembuhkan. Sekarang, siapakah yang sebenarnya buta?
Kita tidak hanya buta, namun juga tuli. Bahkan kaku seperti jasad tanpa nyawa. Tidak ada gerakan yang kita lakukan untuk menolong sesama. Cuma hidup adalah bibir-bibir yang berucap dengan runcing. Aku semakin tidak mengerti manusia, dari apakah mereka tercipta sebenarnya. Apakah dari tanah yang lembut atau batu kokoh yang tidak berguna.
Dan tentang buta. Bagaimana cara seharusnya, agar kita mampu melihat. Tidak cuma dengan kedua mata, namun juga dengan hati.