Saat mataku membuka, aku tak mampu melihat apa-apa. Bahkan tak ada sedikit pun cahaya yang datang menari memberikanku warna. Cuma ada kegelapan di sini.
Aku terperangkap. Dalam sebuah lubang sempit yang tak menyisakan ruang pergerakan. Tanganku bebas namun seperti terikat. Ke mana pun arah mataku memandang, tak ada warna yang terikat dalam retina. Sebuah maha gelap di mana aku tak mampu berbuat dan bertindak. Aku seperti dalam lubang.
Entah berapa lama aku telah ada di dalam lubang, bersama seluruh manusia yang juga ikut terperangkap. Kami adalah mereka yang diramalkan, tentang manusia yang ikut, bahkan masuk ke dalam lubang biawak. Sepenggal demi sepenggal, tanpa tahu, tanpa mengerti, tanpa melawan. Aku memang tak melihat mereka karena betapa gelapnya di sini, namun mampu kudengar napas berat mereka yang terperangkap. Adalah aku, yang baru hanya berteriak, sedangkan yang lain sedang terlelap.
Aku menduga-duga, kapan terakhir aku menikmati cahaya. Tentang hangat yang menggelitik kulit. Tentang angin yang menerpa wajah dan membuatku merasa nyaman. Tentang putih yang berubah menjadi ragam rupa, dan tentang semua warna yang bersatu menjadi segalanya.
Aku takut! Gelap ini membuatku gelisah. Padahal dulu, gelap adalah yang paling aku rindukan. Sampai aku membayangkan, betapa gelap adalah sumber segala kenyamanan, seperti bayi yang tenang dalam dekapan rahim. Tapi sekarang aku takut. Gelap ini, bukan yang aku inginkan.
Dulu aku berpikir, cahaya adalah asal dari segala dosa. Kisah tentang spektrum yang memberikan manusia kemampuan untuk memilah, menganalisis dimensi, dan memahami tentang beda. Dan gelap, ketika semua manusia hidup dalam kehampaan, adalah solusi tentang semua perbedaan.
Gelap adalah tempat di mana semua warna adalah sama bagi setiap manusia. Tentang mimpi, ketika manusia menyadari bahwa mereka hidup di bawah satu langit, tanpa bingkai, tanpa menolak setiap rupa. Langit yang tidak pernah memilah manusia, memberi sekat, membedakan. Dulu aku berpikir demikian. Tentang gelap yang aku anggap nyaman, tentang tidur yang melahirkan mimpi dan angan. Tentang kematian yang tak lagi berubah menjadi kehidupan.
Tapi, gelap ini, adalah sesuatu yang ternyata tidak aku rindukan. Dan penyesalanku terlambat. Aku telah hadir di dalam lubang. Bersama mereka yang sedang mendengkur di sini. Mereka yang ikut, merangkak, melata, sedikit demi sedikit, sepenggal demi sepenggal, sampai seluruhnya masuk, bahkan kami dengan riang bergembira berteriak saat meloncat masuk ke lubang ini.
Aku kembali mengingat, tentang orang-orang dengan baju putih yang menarik bajuku untuk tidak masuk. Aku dulu mengira mereka itu sok suci. Sejenis munafik yang tidak taat kepada kenikmatan. Berpura-pura tidak menginginkan apa yang aku inginkan. Mereka yang tidak bebas dan terikat. Namun, sekarang aku paham, sesungguhnya apa yang aku kira kebebasan, bukanlah apa yang aku inginkan. Di dalam lubang ini aku terperangkap. Tentang tangan yang bebas namun terikat. Tentang mata yang melihat namun buta.
Tuhan. Keluarkan aku dari lubang. Aku merindukan cahaya.