senja

Kemarahan

Sudah dua hari, seseorang cuek kepada saya. Jika dirunut, pasalnya sederhana, saya membandingkan Aceh dan Bandung. Saya merasa Bandung akhir-akhir ini panas sekali, bahkan ketika malam. Tidak ada beda dengan Aceh yang juga panas, baik siang maupun malam. Hanya saja, di Aceh, saat kepanasan saya memiliki sebuah AC di kamar untuk mendinginkan diri. Tidak di sini. Hal yang cuma mampu saya lakukan adalah membuka pakaian saya dan berharap kulit saya lebih cepat bertemu dengan angin.

Terakhir, saya mengirimkan sebuah surel (email .red) kepadanya, dengan sebuah judul “Permohonan Maaf“. Entah dia sudah membuka surel tersebut, entah surel tersebut masuk ke dalam SPAM Folder, atau entah langsung dibuang. Saya bukan cenayang, bukan mereka yang bisa melihat dari mata jin yang bergentayangan. Saya cuma manusia biasa. Tapi, sampai sekarang, surel yang saya kirimkan belum juga ada balasan.

Kemarin, saya mengirimkan video lucu. Karena tahu bahwa nomor WhatsApp di handphone-nya telah memblokir saya, maka saya mengirimkan video itu ke nomor yang lain, sebuah nomor WhatsApp yang ada di tablet-nya. Hasilnya, bahkan nomor saya di tablet juga ikut diblokir.

Sekarang saya menunggu hari ketiga. Hari maksimal ketika seorang muslim diperbolehkan tidak mengacuhkan sesama muslim saat bermarahan. Jika hari ketiga pun yang terjadi adalah sama, maka saya berlepas diri dari apa yang terjadi. Saya sudah melakukan sebisa saya. Mencoba bertanya kabar, bahkan mengirimkan sebuah surat permohonan maaf, karena saya tahu jika ditelepon pun percuma, tidak akan diangkat.

Jujur, saya benci sikap manusia yang seperti ini. Hidup dalam kemarahan yang larut. Bahkan, beberapa di antara kita sampai mewariskannya ke anak-cucu. Ingat kisah epic Romeo dan Juliet oleh Shakespeare?

Dahulu kala, saya menganggap orang-orang yang memiliki sifat seperti ini seperti tuhan-tuhan kecil. Terlalu sombong, yang bahkan jika Tuhan saja memaafkan dengan seluruh kebesaranNya, mengapa kita yang begitu kecil, hina, bahkan tanpa nilai berani melakukan hal yang demikian.

Sebagian orang bahkan sampai berkata, “aku memaafkan, namun tidak melupakan.” — Lantas apa gunanya maaf? Jika engkau terus mengingat, menyimpan, dan berpikir suatu hari akan membalas. Sungguh, demikianlah apa yang dikatakan dengan dendam.

Dan barusan saya tersadarkan. Bahwa kemarahan itu menularkan. Tiba-tiba saja, saya merasakan kemarahan yang memuncak karena tidak diacuhkan, bahkan permohonan maaf pun diabaikan. Saya merasa bahwa manusia ini terlalu tinggi diri. Tetapi saya langsung tersadar, adalah wajar jika manusia yang sedang dalam kemarahan melakukan hal demikian. Dia yang sedang disetir oleh napsu yang terus membisikkan bahwa kemarahan yang terlarutkan adalah tanda kekuatan. Sesuatu yang akan mendominasi. Saya sadar, saya tidak boleh melakukan hal yang serupa. Saya tidak boleh dikalahkan oleh setiran-setiran bisikan yang membolak-balikkan akal rasionalitas saya.

Tugas saya sekarang adalah menunggu hari ketiga. Selanjutnya, terserah Anda.