Kemana Engkau Bawa Ilmumu?

Mungkin takdir. Entah mengapa aku lebih memilih membuka browser melihat tulisan mereka tentang Islam daripada belajar Mekanika Fluida atau Termodinamika. Aku melihat bagaimana mereka menulis, dan itu berarti juga bagaimana proses berpikir itu terjadi. Aku menebak-nebak, apa sebenarnya mereka.

Berbicara Islam. Mereka berbicara Islam dengan nada tinggi. Penuh referensi dan keilmuan. Lantas aku bertanya, apakah itu semua bermakna dengan keimanan yang ada di hati mereka?

Kata mereka, seharusnya Islam itu begini, Islam ini begitu. Lantas, apa yang terjadi dengan ke-Islam-an mereka sendiri. Islam yang ada di dalam hati mereka.

Bukannya aku melarang engkau para sahabat untuk membaca. Bukannya aku melarang engkau untuk menutup semua buku. Aku tidak akan pernah mampu melarang seseorang untuk terus memperbaharui keilmuannya. Namun, aku hanya bertanya apakah pengetahuan itu yang nanti akan engkau pertanggungjawabkan itu berarti bagi hatimu?

Ilmu itu, akan membuatmu lebih mendekatkan diri kepada Tuhan atau malah menjauhkan.

Merasa terlalu pintar, lantas pongah engkau! Hati-hati kawan. Lantas jika demikian, apa beda engkau dengan Fir’aun yang Tuhan tenggelamkan.

Manusia itu harusnya tidak menjadi sombong. Teramat tidak boleh! Janganlah kau berlaku seperti kaum yang semenjak dahulu telah dikutuk oleh Tuhan karena begitu keras kebangkangannya. Maka tunduklah.

Tidakkah cukup Tuhan memberikanmu dua mata untuk engkau melihat segala kekuasaan-Nya?
Tidakkah cukup Tuhan memberikanmu dua telinga untuk engkau dengarkan semua kemegahan-Nya?
Tidakkah cukup Tuhan memberikanmu satu mulut untuk engkau kabarkan semesta kebaikkan-Nya?

Maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?

Seharusnya, semakin engkau menambah ilmu, ketundukanmu itu semakin menjadi. Semakin sering air mata tumpah dengan penuh penyesalan atas semua kesalahanmu menjadi tanda betapa engkau telah mengerti dengan semua yang terjadi. Karena kelak, air mata akan menjadi saksi bahwa pernah ada hati yang menderita karena mengingat segala dosa.

Aku mendengar. Aku berharap ini tidak benar terjadi karena aku tidak melihat langsung apa yang aku dengarkan ini. Ini kisah tentang mereka, dengan mulut penuh buih berbicara tentang agama. Namun saat azan tiba, mereka geming. Segala aturan, wejangan, keilmuan keluar dari kepala mereka melalu mulut penuh busa. Dan engkau tahu kawan, hati mereka mati!

Segala suara bahana ketika Tuhan memanggil, mereka acuh. Padahal itu saat mereka berbicara tentang Tuhan.

Kemana semua ilmu yang selama ini mereka bicarakan?

Maka olehku lebih baik menjadi diam. Karena mulut yang banyak bicara adalah neraka bagi empunya.

Simaklah apa yang pernah orang dahulu kata, “Mereka yang mengerti akan diam. Mereka yang tidak mengerti akan terlalu banyak bicara.