Aku sepi menjalar sumsum. Ingin bersamamu hingga akhir zaman. Aku tak kuasa untuk temukan jasad. Maaf, karena cuma sebegini aku mampu cinta.
Kesepianmu adalah kesepianku juga. Kekalutanmu adalah kekalutanku juga. Demikianlah.
Bukankah Tuhan pernah berkata, jika Aku telah cinta maka Aku akan menjadi matamu, Aku akan menjadi kakimu, Aku akan menjadi tanganmu. Sayangnya, aku tak punya kuasa sebisa Tuhan. Aku cuma mampu merasa apa yang engkau rasa. Ketika jenuh melandamu, aku pun rasa. Ketika kekalutan menyertaimu, aku pun ikut gundah. Salahkah?
Hatiku, selalu mengarah kepadamu. Ingin kutahu jejak-jejakmu. Anehkah?
Aku ingin segera lepas dari beban rasa ini, namun aku tak mampu. Cuma Tuhan yang mampu hapuskan rasa, seperti mampunya Dia menaruh cinta ini di dalam dada. Aku tak punya kuasa apa-apa. Bolehlah engkau kata aku ini pasif, tak pernah ingin berontak apa yang Tuhan mau. Bolehlah engkau kata aku ini fatalis, seolah semua gerakku adalah milik Tuhanku. Begitulah cinta. Tak mampu diraba, tak mampu diduga.
Aku kesepian bidadari ketiga. Aku kesepian. Aku tak mampu beri apa-apa, cuma satu senyum tulus yang hadir dari hati. Aku tak kuasa untuk lakukan apa-apa.
Bolehlah engkau anggap aku ini tak berguna. Tak apalah engkau memberi aku reaksi itu, karena keberpikiranmu tentang tak bergunanya aku tetap membuat aku senang. Aku senang karena engkau berpikir tentangku, walau engkau berpikir: aku yang tak berguna.
Dialektika. Kontradiksi. Materi. Logika.
Aku sebenarnya ingin usai, namun tetap tak bisa. Aku ketakutan, engkau pahamilah itu. Aku ketakutan. Kehilanganmu, diperjauhkan olehmu. Aku tak mampu hadapi itu, aku tak kuasa.
Terkadang aku malu, berkali engkau bertanya: “mengapa di mataku engkau begitu berharga”. Aku cuma senyum, tak punya satu jawaban khusus yang mampu kurangkai indah dengan diksi yang menawan. Aku berlari-lari dari satu logika ke logika yang lain, padahal sejatinya jawaban cuma satu: KARENA AKU CINTA.
Aku kehilanganmu. Walau bait kata masih terikat, namun aku merasa engkau berlari entah kemana. Aku rindu, rindu engkau yang dahulu. Andai tidak terikat tanganku dengan belenggu, sudah barang tentu akan ku peluk dirimu lantas kuterbangkan engkau ke nirwana. Aku kutarik lenganmu menghadap penghulu, memaksamu mengingat kata denganku. Namun aku cuma mampu bermimpi, berkhayal tiada peri.
Bidadari ketiga. Aku kesepian. Sepi yang menghujam.