Setiap lelaki itu melirikku dengan ekor matanya, tepat saat mata kami saling berhadapan sesudahnya, dia selalu bertanya, “Apa yang kau cari?”
Dan, aku pun selalu sama, hanya terdiam. Bingung. Abstrud. Terlalu mengambang. Aku tak tahu harus menjawab apa. Untuk jawaban yang sederhana pun aku tak mampu, apalagi sebuah jawaban rinci tentang hal sederhana yang selalu ditanyakannya itu.
Apa yang aku cari?
Aku sebenarnya sedang mencari “aku“. Aku yang sebenarnya tidak hilang, namun “aku” yang belum lagi ditemukan.
Aku sebenarnya sedang mencari “aku“. Aku yang sebenarnya merdeka, namun sekarang “aku” lagi diperbudak.
Kapan kita pernah sadar, bahwa sesungguhnya kita sedang diperbudak. Diperbudaki oleh keinginan-keinginan kita. Dicambuk oleh angan-angan kita. Diduduki oleh napsu keduniawian kita. Sadar?
Tidak! Hidup. Ego. Napsu. Kesenangan semu. Banyak hal yang ilusif mengotori sudut pandang kita. Dan pada suatu titik, kita pun merasa lelah. Lelah dengan sesuatu yang dikejar namun tidak mampu digapai. Manusia-manusia seperti hewan-hewan yang bodoh. Berlari, mengejar bayangannya sendiri.
Bukan bayangan yang sejatinya harus dikejar, namun bagaimana cahaya merangkai sudut. Dan cahaya itu adalah jiwa kita.
Apa engkau melihat seperti yang aku lihat? Manusia dengan tangan bergandengan. Tentang mereka yang tertawa. Tentang orang-orang yang sedang berlomba tentang mimpi mereka. Tentang dahaga yang tidak pernah tuntas. Tentang liur yang terus jatuh menetes.
Melihat ilusi yang terjadi di sekeliling kita. Tentang manusia yang mengamit tangan di perut mereka. Tentang lapar yang tidak pernah menemukan rasa kenyang.
“Aku tidak menemukan yang aku cari selama ini…,” begitu ucap seseorang itu suatu ketika. Dia mungkin sedang meraba ulang, tentang titik hampa yang dicarinya. Tentang pekat hitam yang membuat tubuh serasa melayang. Tentang ekstase-ekstase semu.
Karena bahagia, sesungguhnya ada di dalam setiap jiwa. Karena jiwa laksana pohon yang baru ditebang. Adalah bagaimana engkau memahatnya. Dan rasa cukup, sesungguhnya cuma ada di dalam diri.
Menjadi diri sendiri berarti tidak menjadi orang lain. Tidak harus merasa cemburu dengan topeng-topeng yang manusia kenakan. Berbahagia dengan segala kebaikan yang mampu dilakukan. Berbaik hati terhadap semua elemen alam.
Berbahagialah dengan semua variabel yang diberikan oleh Tuhan.
Mimpi sesungguhnya tidak memiliki ujung batas. Kembali kepada diri sendiri itulah sesungguhnya batas akhir keinginan. Berhentilah mencari! Apa yang kau cari sesungguhnya tidak hilang. Hanya perlu sedikit usaha untuk menemukan. Sama seperti serakan kertas di atas meja yang berantakan. Jangan terburu-buru. Untuk setiap kebaikan kecil, ada puzzle sejatinya jiwa di sana, termasuk memerdekan lalat yang tenggelam dalam cangkir kopimu.
Menjadi bahagia, sesungguhnya tidak ditemukan di luar sana. Namun, bahagia sejati — apa yang sesungguhnya engkau cari — ada di dalam dirimu sendiri. Di ujung batas.