Sebongkah Lelah

Aku tak ingin maksud, untuk mewartakan semua lelah. Tentang jasadku yang mulai melemah, dan batinku yang semakin mengalah. Engkau tidak akan pernah tahu, di hadapanmu aku selalu tersenyum, menyimpan semua tangis berukir air dari pipi-pipiku. Aku simpan semua, agar engkau bahagia.

Bolehkah aku mengeluh? Barang sekali saja. Dan bolehkah aku meminta? Engkau diam dan dengarkan semua apa yang ingin aku sampaikan. Tentang penatku, lelahku, rinduku, juga cintaku.

Aku mencintai dengan tiada lelah. Harus engkau tahu itu. Terserahmu jika engkau bersikap tidak mau tahu.

Lelah yang aku tanggung ini bukan karena aku mencintaimu. Ini adalah lelah fitrahku sebagai lelaki, sebagai manusia, sebagai mereka yang terlalu banyak harap daripada kerja. Namun, bukan pula hendak ingin mengeluh. Aku cuma ingin dimengerti. Tidak lebih. Jangan pula kurang.

Beberapa hari belakang, kepala belakangku lebih semakin sering sakit. Tubuhku seperti reok, padahal umur yang dianggap tua belumlah lagi menyelimutiku. Namun, aku sudah seperti mereka para manula. Entah apa yang sedang berkembang dengan fisik ini. Apa mungkin karena aku terlalu banyak memakan ramuan kimiawi, atau karena hobi menyeruput Fruit Tea? Entahlah, namun yang pasti: aku keok!

Tadi pagi, kerjaku cuma duduk di warung kopi menunggu temanku lantas kami sama-sama ke bank. Dari hari sebelum hari ini aku sudah wanti-wanti kepadanya, agar temani aku untuk mengurus perpanjangan ATM-ku. Lantas di bank aku bertemu dengan wanita yang dulu sekelas di sekolahku, dari awal hingga penghujung smu. Lama berteman, dialog kami cuma singkat: dia tanya mau mengurus apa, aku jawab ingin perpanjang ATM. Setelah itu lantas sudah, tiada apa lagi dialog berikutnya.

Lepas dari bank, aku dan temanku berubah arah. Dia hendak pulang, ingin melanjutkan desain selebarannya dan aku hendak ke kampus, ingin lihat pengumuman, moga-moga saja terjadi mukjizat bahwa aku tidak harus kuliah lagi dan langsung dinyatakan lulus. Harapan tinggal harapan. Kenyataan di depan mata, tugas akhirku harus segera selesai, di semester ini juga.

Di kampus tiada ada apa. Jamaknya di sini, sebuah tradisi sudah berurat akar. Satu hari sebelum hari pertama puasa, kami berpesta makan daging, dan hari ini adalah hari pembagian daging-daging.

Masih terasa bau anyir darah dan bau segar daging-daging yang dimutilasi. Tepat sebelum hari ketika semua napsu dikandangkan, kami liarkan mereka semua, dengan maksud napsu-napsu itu tidak meminta jatah macam-macam ketika kami semua berpuasa ria. Aku pun berharap yang sama. Tepat sebelum bulan suci itu tiba, kami semua mendadak menjadi egois. Lebih egois dari sebelumnya.

Aku lelah. Capek. Hidup menjadi manusia itu teramat lelah.

Maaf beribu maaf. Itu bulan percintaan antara manusia dan Tuhan sudah semakin dekat. Lelah itu mungkin juga napsu, harus pula aku kurung dia nantinya.

Sebongkah lelah. Ini sudah terlampau, bukan bongkahan lagi. Aku capek, sekali.