Merekam Kebahagiaan

“Pernah bahagia?” Tanyaku suatu kali kepada seorang teman.

Dia tersenyum — entahlah — aku tidak tahu. Kami cuma bertukar kata melalui komunikasi udara. Dan aku menduga, dia tersenyum saat katakan, “Pernah. Aku pernah bahagia.”

smile
merekam kebahagiaan
Kemudian aku melanjutkan, “Nikmati kebahagian itu. Belum tentu besok masih akan berlangsung.”

Manusia, hidup, dalam dua periode yang terus berulang dan akan terus demikian: kesedihan dan kebahagian. Entah kapan, tidak ada manusia yang mampu menduga bilamana kesedihan atau kebahagiaan yang akan datang. Aku pun demikian.

Maka teman, rekamlah olehmu semua kebahagiaan yang pernah terjadi kepadamu. Seperti sebuah tape perekam, putarkan kembali semua bahagia yang terjadi saat sedihmu tiba. Ada satu hal yang harus engkau ingat, bagaimanapun kesedihan menderamu, ada kebahagiaan yang akan datang menanti. Engkau cuma perlu meraih atau menanti.

Tidak setiap saat bahagia itu hadir. Ada saat memang air mata lebih butuh tempat untuk mengurai semua sakit dan luka di hati. Ada saat ketika sedih merupakan bagian paling alami yang terjadi. Sebuah perasaan manusia ketika hati menjadi demikian lembut dan sensitif. Seperti kulit yang baru saja mendera luka. Syahdan, air mata pun turun demi menegaskannya.

Namun, sedih sesungguhnya tidak perlu diperlarutkan. Jangan biarkan kesedihan merampas semua kebahagiaan kita. Hidup sesungguhnya adalah sebuah perayaan. Maka, jika memang sedih itu kelak akan tiba, ingatlah bahwa setelah itu akan ada bahagia yang menunggu hadir.

Merekam kebahagiaan. Jika sedih datang. Saat air mata tumpah. Ketika kepala lebih membutuhkan bahu untuk semua cerita. Waktu tembok-tembok yang bisu menjadi sedemikian pilu. Untuk bantal-bantal yang telah lembab oleh basah air mata. Maka ingatlah, ada kebahagiaan yang dulu pernah hadir, dan sesungguhnya akan kembali terulang.

Jika engkau sedang berbahagia sekarang. Temanku, rekamlah ia. Engkau, kelak, akan lebih teramat membutuhkannya. Melebihi dari seribu telinga yang akan mendengarkanmu. Lebih dari sejuta dinding yang telah engkau ratapi. Lebih dari milyaran bantal yang telah engkau basahi. Engkau lebih membutuhkan bahagia yang terekam. Bahagia indah yang akan selalu engkau kenang.

Merekam kebahagian. Sekarang!