Lagi-lagi Tentang Kentut

dilarang kentutMasih ingat kisahku tentang kentut?

Jadi begini, ternyata setelah aku menuliskan tentang hal yang memalukan kentut kemarin, kentutku tetap saja tidak berkurang. Faktanya, bahkan kentutku semakin sering saja keluar dengan bunyi yang nyaring. Masalah bau kentut, walau memang mengganggu, bagiku tidak begitu masalah asalkan tidak ada bunyinya. Jika aku kentut namun tidak bunyi, aku bisa saja mengelak bahwa ada orang lain yang kentut. Namun, jika kentut sudah berbunyi, kuping siapa yang harus ditulikan? Terlebih, semua orang punya mata untuk melihat, refleksi dari pendengaran mereka kepada sumber suara dengan bunyi nyaring yang mungkin saja sebentar lagi akan segera membusukkan ruangan.

Yah. Kentut memang sebuah dilema, terutama jika dia berbunyi.

Aku heran. Dulu, aku kentut bisa tanpa suara juga tanpa bau. Seperti orang buang napas, segalanya terjadi dengan indah tanpa harus membuat jantung berdetak lebih cepat. Sekarang, jika ingin kentut, aku harus lihat kiri-kanan jika-jika ada orang di sekelilingku. Parahnya adalah, kentutku itu seperti nervous system, muncul tiba-tiba tanpa aba-aba bahkan aku baru sadar setelah bunyinya hadir.

Kentut memang dilematis. Jika aku bertahan untuk menahannya, yang ada adalah aku bakal sakit perut. Ini jelas sungguh tidak menyenangkan. Orang lain mungkin tidak akan merasa apa-apa, namun aku yang harus menanggung segalanya. Haruskah aku katakan kepada orang-orang: “hai manusia sekalian, berterimakasihlah kepadaku karena aku telah menahan kentutku di hadapan kalian sekalian, walau itu berarti aku harus membuat perutku sakit.

Dilema itu masih berlangsung lama sampai Bang Zaky, saat aku di Jroh, memberikan pencerahan. Begini pencerahannya:

Kentut itu baik tidak?
Jelek! Karena jelek, makanya saya buang.

Kentut itu baik tidak?
Baik! Karena baik, makanya saya bagi.