Di Ketinggian 60.000 Kaki

Direncanakan cuma aku sendiri yang akan terbang kembali ke Banda Aceh hari ini. Ayah dan Mamak tertahan. Tiket sudah di-refund, walau cuma 10% (sepuluh persen). Mamak harus masuk rumah sakit, tumor di kakinya semakin membesar. Mamak harus tinggal di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih mulai Selasa ini, karena Rabu nanti, seorang professor onkologi akan melakukan tindakan.

Ternyata tidak. Aku tidak pulang sendiri. Akhirnya aku pulang dengan Anda (kakak ke duaku) yang memang menjadwalkan pulang pada tanggal 24 September ini pada jam yang sama denganku juga. Awalnya, berarti kami akan pulang berempat ke negeri para raja, namun yang akhirnya tersisa cuma dua.

Pesawat mulai bergetar hebat. Aku merapal doa yang aku bisa. Memohon kepada Tuhan agar getaran yang hebat ini bukan berarti apa-apa. Aku memang selalu ketakutan jika naik pesawat terbang. Terlebih, saat pemberitaan berbagai kecelakaan pesawat di negeriku ini, semakin membuat aku merasa was-was saat lepas landas. Dan akhirnya, kapal terbang ini berjalan di antara udara. Menembus awan. Melewati lautan. Menuju negeri seberang.

Pramugari itu mulai berdiri di jalur yang memisahkan dua kursi. Mereka, dalam diam mendemonstrasikan bagaimana menyelamatkan diri jika kelak pesawat yang sedang terbang ini akan luruh. Walau aku tahu, banyak penumpang yang bahkan sama sekali tidak peduli. Beberapa orang pria aku lihat terlihat begitu serius. Memandangi para pramugari itu. Entah apa yang berkecamuk di dalam pikiran mereka. Apakah soal keselamatan, atau, entahlah.

Aku sendiri punya pikiran lain. Jauh di bawah sana, di pulau Jawa. Aku memikirkan Mamak.

Turbulensi membuat pesawat ini kembali bergetar. Suara nyaring memberikan informasi bahwa ini adalah pesawat terbaru milik maskapai Singa Udara tersebut. Akan terbang di atas ketinggian enam puluh ribu kaki.

Aku memejamkan mata. Menyendarkan kepala dan punggungku ke kursi. Dagu menekuk ke atas. Aku kembali teringat Mamak. Beliau akan dioperasi.

Harus diambil tindakan! Begitu kira-kira kabar yang aku dengar. Tumor di telapak kaki Mamak sudah semakin membesar. Bahkan, akibat pengobatan alternatif kampung yang Mamak lakukan, tumor itu sekarang bernanah.

Awalnya cuma Clavus. Sejenis mata ikan yang bersarang di telapak kaki Mamak. Sudah dua kali Mamak mengalami operasi, jika kembali dioperasi, maka ini yang ketiga kalinya. Dua yang terdahulu dilakukan di Penang, tetapi kembali muncul. Mungkin Mamak sudah gerah, makanya menolak untuk dioperasi kembali sampai Clavus itu malah berubah menjadi tumor, dan menjadi lebih besar daripada sebelumnya.

Aku membayangkan kesakitan Mamak. Aku membayangkan kondisi psikis Mamak. Bayangan ketakutan tentang pisau-pisau bedah yang merobek kulit dan daging nanti. Membayangkan hal tersebut memang mengerikan. Semakin membuatku sedih.

Pesawat terus melaju. Saat aku bertolak menuju Banda, Mamak dan Ayah tertinggal di belakang. Rasanya ingin aku keluarkan air mata, namun terlalu malu. Di sampingku ada kakakku, dan di sebelah kanan ada seorang penumpang yang lain.

Sampai pesawat mendarat, aku cuma memejamkan mata. Jika tujuh samudera air mata mampu membuat Tuhan mengabulkan doaku untuk kesembuhan Mamak, aku rela menumpahkan bahkan lebih daripada itu.

Aku berharap Mamak baik-baik saja. Aku berharap, segala yang terbaik menjadi miliknya. Aku berharap, semoga kesabaran itu dibalaskan dengan perolehan yang setimpal. Dan aku yakin pasti, Tuhan tidak akan meninggalkan hambaNya.