Menggenggam Awan

Aku pernah naik pesawat. Ketika berada di puncak bumi, aku melihat sekumpulan awan. Mereka seperti sebuah negeri. Engkau tahu? Aku rasanya ingin terjun bebas di sana, berdikari bersama awan-awan, tidur, dan menikmati pancaran matahari yang mengelus lembut kulit-kulit putihku yang halus.

Apa yang dipikirkan manusia, terkadang berbeda dengan realitas yang nyata. Aku beberapa terakhir ini sering berpikir tentang push up, rasanya mudah sekali melakukan push up, namun ternyata ketika aku coba rasanya sulit sekali. Perutku sampai sakit dibuat, padahal dalam nalarku, segalanya berlangsung dengan mudah.

Begitu juga dengan awan-awan. Suatu hari, aku berpikir ingin menggenggam awan. Memeluknya, menjadikannya tidak sekedar khayalku.

Kita sering seperti diriku. Berkhayal tentang sesuatu yang ternyata tidak mampu teruji di dalam dunia nyata. Walau terkadang khayalan ada yang memiliki nilai dalam pergerakan dunia. Khayalan Einstein tentang andai dia berjalan secepat cahaya, dan melihat dunia seperti adegan stop sebuah film kehidupan. Atau bayangan Copernicus tentang bumi, matahari, dan bintang-bintang.

Kadang-kadang, jika bertemu dengan dosen aku sering berkhayal semuanya akan mudah. Namun, ada saja terjadi kekacauan di lapangan. Ada saja sesuatu di luar prediksiku. Mungkin, karena khayalanku yang terlampau kaku dan sempit, ataupun terlampau pendek langkahnya. Karena itu pula aku tidak berbakat menjadi tukang main catur.

Menggenggam awan tidaklah semudah yang kubayangkan. Karena, walau terlihat seperti sekumpulan kapas yang lembut, ketika kita memegangnya, kita seperti memegang asap. Setiap teraba tak akan pernah mampu tergenggam. Segalanya menjadi mustahil, walau terlihat begitu mudah dan simple.

Hidup ini adalah seperti rangkaian khayalan. Apa yang kita pikirkan, tidak selalu berbuah kenyataan.