Di rumahku, ada satu jam dinding yang tinggal menunggu waktu untuk “pergi”. Letaknya di atas kulkas yang ada di samping tangga menuju lantai dua, tegak lurus dengan mini bar yang menghubungkan ruang utama — tempat kami menonton tv dan wilayah Khansa (keponakanku .pen) dengan pertempurannya — dan dapur. Jam yang merupakan hadiah pernikahan kakak ketigaku dulu.
Kadang, ketika aku hendak menaiki tangga, jam tua itu seperti memanggilku dengan suara deritnya ketika menunjukkan jam-jam yang genap. Suaranya begitu menderit, bahkan nenekku masih terkesan jauh lebih muda daripada jam tersebut jika menilai dari suaranya saja. Suara derit jam itu ibarat sebuah pepatah lama: “hidup segan, mati tak mau“. Namun herannya, sejak 3 tahun lalu suara deritan itu tetap sama tetapi jam itu tidak juga mati. Sungguh semangat hidup yang patut diacungi jempol!
Untuk seluruh penderitaannya, hampir seluruh orang rumah tidak ada yang menyadari. Tidak Ayah, tidak Mamak, tidak kakakku, atau bahkan nenek untuk mengingatkan satu sama lain untuk mengganti baterai jam tersebut. Seolah, seluruh isi rumah rumah tidak ada yang peduli dengan nasip naas jam itu. Dan aku yakin, bahkan jika jam itu tewas menggelepar, orang-orang cuma akan diam dan terus melanjutkan segala aktivitas yang sedang berlangsung.
Bagaimana dengan aku? Aku pun tidak peduli dengan nasib tragis jam tersebut. Bagiku, keberadaannya tidaklah signifikan. Ada atau tidak, akan sama saja. Tidak pun orang rumah sering melihat jam tersebut untuk melihat waktu. Jam tersebut lebih dipajang sebagai aksesoris untuk menunjukkan bahwa anggota keluarga kami adalah orang-orang yang taat terhadap waktu. Terutama aku.
Mungkin sekali waktu boleh aku merekam suara deritan jam itu agar kalian semua mengerti bagaimana susahnya jam itu untuk terus bertahan tetap eksis di rumahku.