Di rumahku, ada satu jam dinding yang tinggal menunggu waktu untuk “pergi”. Letaknya di atas kulkas yang ada di samping tangga menuju lantai dua, tegak lurus dengan mini bar yang menghubungkan ruang utama — tempat kami menonton tv dan wilayah Khansa (keponakanku .pen) dengan pertempurannya — dan dapur. Jam yang merupakan hadiah pernikahan kakak ketigaku dulu.
Kadang, ketika aku hendak menaiki tangga, jam tua itu seperti memanggilku dengan suara deritnya ketika menunjukkan jam-jam yang genap. Suaranya begitu menderit, bahkan nenekku masih terkesan jauh lebih muda daripada jam tersebut jika menilai dari suaranya saja. Suara derit jam itu ibarat sebuah pepatah lama: “hidup segan, mati tak mau“. Namun herannya, sejak 3 tahun lalu suara deritan itu tetap sama tetapi jam itu tidak juga mati. Sungguh semangat hidup yang patut diacungi jempol!