Langkah-langkah tak boleh terhenti seketika. Harus terus berjalan, melangkah menuju puncak langit. Menuju gelap langit yang tak biru akibat bias lautan, menuju langit hampa dengan hamparan bintang tanpa bingkai bumi yang mengkotakkan. Langit sebenar-benar langit.
“Bagaimana engkau mampu melangkah keluar dari kotak?” Tanya lelaki suatu ketika.
Aku, pria, menjawab. “Dengan sepenuh kekuatan.”
“Bagaimana dengan atmosfir yang membalut kotak? Ketika kau pergi daripadanya, maka secepat itu radiasi angkasa akan menghantammu. Menghancurkanmu, dan melepas rangkamu dari jasad. Kau akan mati detik itu juga.” Lelaki mengingatkan.
“Dan langit akan merengkuh jasadku. Jika dia murka, maka dikremasi aku dengan balutan api matahari. Atau dibekukan aku dalam dekapan pluto. Atau menjadi aku sampah diantara puing angkasa yang beterbangan.” Jawabku sekena.
“Maka bergegaslah engkau pria. Semoga semua yang kau idamkan itu akan tercapai. Aku tak akan mengikat tanganku lagi menahanmu. Carilah bidadari itu dan secepat itu kau menuju surga. Lantas ceritakan kelak kepada anak cucu keturunanmu, tentang betapa gilanya Tuhan menciptakan cinta.” Lelaki itu berucap dengan geraham gemeratak.
… aku setitik diam. Aku, pria, terdiam.
Arahku memandang langit biru itu. Ada kerinduan keluar dari kotak bumi ini. Menikmati bebasnya langit, langit tak berbingkai. Menikmati hidup tanpa harus mengerti dualisme, tanpa meributkan segala jahat atau baik. Tanpa harus bersusah memilah, tanpa harus limpung dalam ruang abu-abu.
Tuhan, berapa lama lagi waktu yang kau sisakan untukku?
Mataku menutup terpejam. Kaki bersila. Duduk dengan posisi tegak. Mengatur nafasku, melangkah setapak menuju ekstase, menuju trance sempurna.
Untuk hari ini, catatan ini ku tutup. Catatan: “Jejak Setapak Menuju Langit“.