Aku menutup mata namun dunia masih belum juga hendak beranjak pergi. Orang-orang bising dengan hati dan pikiran mereka. Tentang sumpah dan serapah yang mengalir dari jiwa-jiwa yang kering, yang butuh begitu banyak telaga atau ribuan waduk untuk mengenyangkan dahaga mereka. Namun dunia belum juga tertidur.
Mimpi-mimpi terus dipilin menjadi benang lantas berubah menjadi baju. Mereka pakai bagai zirah. Menutupi demi melindungi, namun sejatinya cuma mengikat, menjerat, mematikan bebas jiwa yang sesungguhnya menari tanpa sayap di langit yang jauh dari angan. Melebihi batas impian.
Kau lihatlah. Benang-benang yang ada di tengkuk tiap manusia. Berwarna-warni. Tali-temali yang terus mengikat mereka dengan segala pongah dan angkuh. Tentang impian yang mereka banggakan. Soal manusia yang merasa bahagia dengan secuil apa yang ada di depan mata. Kebutaan dalam lautan warna. Kekosongan dalam padatan yang sempurna. Dengan dua tangan mengharapkan gunung. Di cermin sesungguhnya cuma ada dirimu sendiri.
Maka sekali-kali tidaklah manusia itu akan menjadi sebesar gunung, namun mengapa begitu sombong. Tidak pula mampu menembus langit atau hidup jauh ke dalam inti bumi. Tetapi langkah pongah terus saja menapak di seluruh bumi.
Apakah manusia akan terbangun sebelum dunia tertidur? Atau, akan terus terlelap hingga akhir masa. Hingga kemudian mereka akan dikejutkan dengan cepat, tentang lelap yang selama ini hanyalah episode pendek mimpi-mimpi.
Diamlah sejenak. Heningkan dunia. Pejamkan mata lantas bangunlah. Renungkan tentang kelak kau akan pergi, kemana: dari abu akan kembali menjadi abu. Tentang mereka yang akan masih tertidur setelahmu, tentang nama-nama yang hilang, tentang orang-orang yang datang dengan keserakahan. Tidaklah kau melihat, bahkan jika seluruh dunia telah ada di dalam genggaman, tidaklah rasa puas akan hadir. Namun, engkau terus menipu orang-orang.
Setelah ini. Lalu. Apakah manusia akan terbangun sebelum dunia tertidur?