Jika mau jujur, aku adalah termasuk mereka golongan barisan yang tertipu. Entah menipu diri sendiri, atau tertipu oleh diri sendiri. Sekejap aku tersadar, namun dalam kejapan yang lain semua kembali terlupa. Karenanya kali ini aku catat, agar aku tidak kembali lupa.
Naas. Manusia sering sekali tertipu oleh napsu-napsu mereka. Oleh diri mereka sendiri.
Dia bertanya, “Apa kamu masih mengaji?”
Dia bertanya, “Apa kamu masih ikut haloqah?”
Dengan sejujur-jujur bahasa aku menjawab, “Tidak. Bahkan sudah lama aku tidak membuka mushaf suci itu.”
“Pantas,” jawabannya. Kontan. Spontan.
Kadang aku berpikir, saat itu aku bisa saja berbohong. Toh, dia tidak ada di hadapanku. Aku bisa saja membual bahwa dalam satu hari aku mampu mengkhatamkan 3 juz, ma’surat tidak pernah tinggal, dan selalu muraja’ah mendekati 30 juz. Tetapi aku tidak bisa. Aku tidak mampu berbohong, kecuali kepada diriku sendiri.
Aku tertipu dengan duniaku. Dengan kesenangan sekejap, aku rela menggadaikan akhiratku. Kadang, jika aku mengeja ulang apa yang telah aku tulis, aku menangis. Kemana tulisan-tulisan tentang futur, namun tidak membuatku mampu menegakkan muka. Aku tetap menjadi manusia kotor, nista, dan penuh dosa.
Manusia-manusia banyak yang tertipu seperti aku. Terkadang, kebaikan yang mereka alami telah menipu mereka. Ketika mereka dengan bangga menitahkan penuh rapor harian mereka yang disetor kepada murabbi, mereka menuliskan itu dengan bangga. Sejenak, mereka berada di alam riya.
Dan apakah engkau melihat, ketika seorang manusia memburukkan manusia yang lain. Sungguh mereka sedang menipu diri mereka sendiri. Sesungguhnya mereka sedang memburukkan diri mereka sendiri, memberitakan kepada orang, “lihatlah aku, dia yang suci, yang ditugaskan Tuhan untuk memburukkan orang lain.”
Demikianlah kita. Hidup penuh dusta. Mendustai. Tertipu oleh diri kita sendiri.
Apakah kita berjalan di jalannya iman atau di jalannya napsu? Ketika seorang lelaki dan perempuan, saling bertegur sapa mengingatkan tentang kebaikan-kebaikan, dan mencegah kepada keburukan-keburukan. Ketika itu, kita melakukan kebaikan demi mampu berkata bahwa kita telah berlaku baik kepada orang-orang yang mengingatkan kita. Lantas ketika lelaki atau perempuan, mulai alpa mengingatkan, kita menjadi gundah. Saat itu, kita telah meng-illah-kan seseorang, menuhankan tanpa kita sadari bahwa lelaki atau perempuan itu telah menjadi tuhan atas setiap kebaikan yang kita lakukan.
Apakah salah? Adalah salah jika itu terjadi ketika perempuan dan lelaki itu tidak hadir dalam ikatan suci.
Apakah sudah sampai kepadamu berita, tentang lelaki dan perempuan dalam kondisi yang sangat-sangat baik, hingga setan hadir dalam amalan-amalan mereka, dengan rencana untuk saling mengingatkan antara sesama mereka.
Awal mula, setan hadir dalam upacara tegur sapa mengingatkan amalan mereka. Lantas setan mulai berkuasa, hingga hadir dalam acara ingatan tentang makan, tidur, dan belajar. Kemudian, setan membisikkan sebuah kata: “katakan apa yang kau rasa,” lantas kau turuti dengan harap cemas takut bahwa dia akan menjadi milik yang lain. Dan kemudian, mereka pun saling berjalan beriringan tanpa merasa terdustai.
Kadang engkau berkata, bagiku itu tidak apa-apa. Engkau mampu berkata demikian karena urat malumu yang sensitif telah mengendur teman. Sama seperti telapak, ketika engkau terus-menerus menelusuri jalan terjal bebatuan, pada suatu ketika batu-batu cadas nan tajam menjadi biasa bagimu. Engkau kehilangan telapak lembut yang bahkan akan sengsara ketika menginjak rerumputan, adalah karena engkau telah terbiasa.
Atau tidakkah engkau memikirkan, yang bagimu biasa menjadi luar biasa terhadap orang lain?
Jujurlah kawan. Apakah engkau sedang berdusta? Menipu dirimu sendiri.
Aku berjuang keras untuk melawan tipuan ini. Dan sering sekali aku menjadi mereka yang gagal. Tipuan itu terus melekat, bahkan walau aku terus berlari darinya. Aku sudah kelewat nista. Terlalu banyak dipenuhi oleh dosa.
Cinta sering sekali datang beriringan dengan napsu. Tuhan, tolong maafkan aku yang terlalu terlampaui dalam dosa. Atas segala khilaf nista yang terjadi, atas semua ucapan dan perhatian yang belum halal untuk diucapkan. Atas segala perhatian yang terbit dengan napsu yang mengiringi. Tuhan, tolong maafkan aku.
Aku, adalah mereka yang beriman ketika pagi, dan menjadi kafir ketika sore berganti.