“Tolong kenanglah aku.” Pintanya suatu ketika.
Dan aku menggeleng. Tidak! Tegasku dalam ucap gerak tubuh itu. Aku tidak ingin mengenangmu, walau engkau adalah yang paling indah jika kukenang. Aku belum lagi pupus mencintaimu, jangan buat aku menyerah sebelum sebuah ucap kata pinta meminangmu tiba. Jikalah itu telah sampai, dan engkau pun di waktu itu menolak pintaku membangun rumah di antara setengah agama, maka aku rela. Saat itu, engkau, yang pantas untuk dikenang.
Tegakah engkau merobek sayap hatiku? Mencabiknya menjadi serpihan, lantas memintaku cuma mengenang. Mengapa tak kau minta saja aku mendaki Nepal, berdiam lama dengan mata tertutup di sana. Mungkin suatu laksana aku akan menjadi Budha, tercerahkan, dan karmaku dalam mengingatmu hilang ditelan Nirvana.
Atau kau buang bungkam, untuk kata aku menitilah api suci para Brahmana, seperti ketika Sinta berjalan di sana ketika Rama menguji masihkan suci cinta Sinta selepas dia disekap Rahwana. Dan kisah pun berakhir, tak pernah lagi terdengung lanjutan tentang Sinta selepas dia meniti api suci. Terbakarkah ia oleh cinta, atau cinta meredam api.
Aku mencintaimu karena Tuhanku.
Tak setetes napsu menjalar dalam hatiku ketika aku mengenangmu. Engkau membuatku menjadi hidup, di antara malam-malam sunyi ketika aku menunggumu. Engkau yang membuat tanganku terhenti, ketika seluruh mahesa menjalari hatiku. Engkau adalah kata di mana bunyi menjadi bermakna. Simbol dari setiap ucap atas dengung yang mampu untuk dimengerti.
Salahkah jika aku memujamu? Mengikat namamu dalam setiap bait pinta doaku.
“Tuhan, terima kasih telah membuat aku mencintainya. Tuhan, jagalah dia seperti Engkau menjaga aku. Tuhan, cintailah dia seperti aku mencintai diri-Mu.”
Aku tiada pernah ingin engkau kenang. Satu kuat inginku adalah tetap bersamamu tanpa perlu engkau mengenangku. Jangan biarkan aku menjalari sarap khayalmu, biarlah aku berada di depanmu, hingga akhir masa. Jangan buang aku dalam dunia pikirmu, tetapkanlah aku dalam hatimu.
Aku ingin menjewantah. Membuka jalanmu di antara seok jalan terjal yang akan kita lalui bersama.
Yang Pantas Untuk Dikenang. Jangan. Tangguhkanlah sejenak, aku belum lagi usai dalam juangku. Jangan biarkan aku menyerah. Jangan lupakan aku cuma di pinggir sisi hatimu.
Kita belum lagi usai.