Beberapa waktu yang lalu, saya ngobrol dengan seseorang tentang keinginan saya menutup blog ini. Seseorang itu lantas bertanya, “kenapa?”
“Saya takut,” jawab saya saat itu.
Sudah beberapa hari ini saya takut dengan blog saya sendiri. Sesuatu yang mulai saya tulis sejak bertahun-tahun yang lalu. Tentang perjalanan hidup, sakit hati, menyakiti, disakiti, bahagia, kebanggaan, kekecewaan, dan segalanya. Namun, bukan itu yang saya takuti, tetapi lebih ketika saya menuliskan apa yang saya rasakan tentang Tuhan, dan bayangan-bayangan saya mengenai Dia.
Seperti tentang tulisan saya yang berjudul “Evolusi Terakhir“, bagaimana saya menceritakan tentang Tuhan yang memeluk, yang tersenyum, untuk segala lika-liku perjalanan hidup ini. Boleh jadi, apa yang saya tulisankan itu amat sangat tidaklah pantas.
Atau seperti cerpen saya yang berjudul “Kathmandu” dan “Kepak Sayap-sayap Tumpul“, betapa saya terlalu berani melangkah dalam kebutaan. Seperti para rabbi yang diceritakan, mereka yang mereka-reka tentang Tuhan.
Jika saya mati, apakah semua kesesatan yang pernah saya catat ini akan terus ada? Mengaliri dosa seperti umpama pada sedekah jariyah, maka ini adalah dosa jariyah. Itu yang saya takutkan.
Di lain sisi, saya pun selalu merasa, blog ini adalah sebuah perjalanan. Sebuah evolusi, saat saya tumbuh berkembang. Sesuatu yang berhasil dan mampu saya rekam. Sesuatu yang telah banyak dan amat saya lupakan, namun kembali hadir ketika saya mulai membuka setiap lembarannya.
Ada saat-saat episode saya menjadi begitu pluralis. Atau sebuah episode ketika jatuh cinta begitu menyiksa. Atau tentang sebuah pengkhianatan. Dan beberapa rahasia yang saya titipkan dalam beberapa huruf dan kata, sehingga cuma saya yang mampu menerka.
Saat saya telah menjadi begitu jauh dari sebuah jalan. Blog ini menjadi semacam bingkai, yang akan selalu saya baca untuk kembali kepada jalur semula. Bahwa, ada banyak rasa getir yang sayang untuk saya siakan jika terus memilih untuk terjun ke dalam jurang. Tentang lumpur yang begitu tebal, namun berharap saya mampu berubah menjadi teratai.
Sebelum semua paragraf di atas saya tulis. Sering kali saya memandangi blog ini dengan teramat lama. Seperti memandang seorang anak yang siap untuk ditinggal pergi. Atau tentang wajah-wajah terakhir yang siap untuk dikubur, namun hati tak pernah ingin berpisah. Tentang cinta, yang harus dicabut. Bibit yang dirambas, sebelum mampu berakar.
Entah berapa banyak istigfar yang harus saya ucapkan. Semoga Tuhan memaafkan.