Reruntuhan Langit-langit Biru

Langit-langit biru runtuh, tepat di mataku. Langit berganti rupa, hitam lebih pekat dari malam. Bintang-bintang pun padam. Matahari telah terhapus dari gugus galaksi. Bumi, negeriku, seolah padam dan tersedot lubang hitam. Segala hal suram, tak ada ruang bernapas. Bahkan oksigen pun menjadi sesuatu yang tak mampu diterima paru.

Ah cinta. Segala hal yang kusebut di atas semerta berubah warna. Bahkan cinta membuat polusi nuklir menjadi seindah pupuk kompos. Menghidupkan bunga segala bunga. Aku yang sepi terbangun. Bukankah cinta adalah anugerah?

Berapa lama lagi harus kutahan. Sangat hendak aku bilang: engkaulah segala napas mengapa aku tetap hidup, denyut-denyut yang tak terbantahkan mengaliri tiap pori kulitku. Warna dalam setiap dimensi hidup.

Tak perlu cantik untuk membuat aku jatuh cinta. Karena cinta tak butuh alasan. Cinta adalah warna segala warna, meniadakan setiap warna, namun bukan pula tanpa warna. Sesuatu yang tak mampu dijelaskan, tiada yang menyamai, karenanya bunga-bunga ada walau engkau memandang sahara. Ah cinta, sungguh ia adanya.

Bidadari ketiga, apa kabarmu? Adakah aku dalam setiap alam pikirmu. Apakah aku telah mampu menjajah detak jantungmu?

Bertalu-talu hati ini bertalu-talu. Mencoba mendobrak gendang langit. Aku ingin sekali melihat, namamu yang tertulis di dalam catatan takdirku. Apakah suatu takdir yang akan menyatukan atau takdir yang memisahkan.

Tak bisakah engkau melihat, jilatan api yang membakar mataku. Tak bisakah engkau melihat, hatiku yang tertulis sebuah nama.

Malam ini. Ketika nama Tuhan saling berkait di ujung langit. Aku cuma melihat langit-langit bumi telah runtuh. Jauh di atas sana, aku melihat satu nama. Nama yang ditulis dengan warna cinta. Namamu yang tak juga mereda.